Rencana Pengelolaan Hutan diartikan sebagai rencana dalam mengelola hutan atau suatu rencana KPH yang di dalamnya termuat berbagai aspek pengelolaan hutan dengan batas waktu yang telah lanjut dikatakan bahwa penyusunan RPH memiliki beberapa landasan yang meliputi aspirasi masyarakat yang berada di sekitar hutan nilai budaya dan kondisi lingkungan, hasil penataan, dan rencana pengelolaan hutan hampir sama dengan unsur-unsur manajemen dan unsur tersebut adalah perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta Pengelolaan Hutan dapat dibedakan menjadi 3 bagian yaitu RPHJP, RPHJM, dan RPHJPd. RPHJP memiliki batas waktu pengelolaan 10 sampai 20 tahun, RPHJM dengan batas waktu pengelolaan 3 sampai 5 tahun, dan RPHJPd dengan batas waktu 1 juga Pengelolaan HutanUntuk KPH baik KPHP atau KPHL diwajibkan untuk menyusun Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang yang kemudian diturunkan dalam Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Pendek. Kedua jenis dokumen ini merupakan kitab sucinya KPH. A Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang RPHJPRPHJP merupakan suatu istilah yang digunakan dalam melakukan perencanaan untuk kegiatan pengelolaan seluruh wilayah hutan yang dikelola oleh suatu Kesatuan Pengelolaan Hutan KPH dalam jangka waktu 10 sampai 20 umum, kegiatan penyusunan RPHJP dilakukan berdasarkan hasil tata hutan dengan acuan rencana kehutanan berskala nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota serta melibatkan pertimbangan dari masyarakat setempat melalui aspirasi, nilai budaya, dan keadaan penyusunan RPHJP terdiri dari 8 bab dimana di dalamnya disusun oleh subbab-subbab. Pada bab I Pendahuluan terdiri dari latar belakang, tujuan, sasaran, ruang lingkup, batasan pengertian, serta landasan pada bab II Deskripsi Wilayah memuat risalah wilayah, potensi wilayah, sumber daya sosial ekonomi dan budaya, pemanfaatan dan penggunaan kawasan, aspek sosial budaya, perspektif tata ruang wilayah KPHP dan pembangunan daerah, serta isu strategis, kendala, dan masalah yang ke III Visi dan Misi Pengelolaan Hutan mencangkup dua bagian yakni visi dan juga misi. Setelah itu, bab IV Analisis dan Proyeksi yang terdiri dari analisis situasi, identifikasi faktor berpengaruh pada tujuan, dan juga proyeksi rencana ke V Rencana Kegiatan disusun dengan pendekatan rencana KPHP, proses rencana pengelolaan KPH, rencana kegiatan pengelolaan KPHP, serta isu pokok pengelolaan KPHP. Bab ke VI selanjutnya memuat Kegiatan Pembinaan, Pengawasan, dan itu, disusul dengan bab VII yang memuat pemantauan, evaluasi, dan pelaporan yang diakhiri dengan bab VIII sebagai penutup yang meliputi bagian kesimpulan dan Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Menengah RPHJMRPHJP merupakan suatu istilah yang digunakan dalam melakukan perencanaan untuk kegiatan pengelolaan seluruh wilayah hutan yang dikelola oleh suatu Kesatuan Pengelolaan Hutan KPH dalam jangka waktu 3 sampai 5 yang digunakan pada RPHJM kurang lebih seperti sistematika yang terdapat pada RPHJP. Perbedaan antar keduanya lebih ditekankan pada waktu pengelolaan yang pada RPHJM maksimal nya selama 5 Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Pendek RPHJPdRPHJPd merupakan turunan dari apa yang telah dijabarkan dalam Rencana Pengelolaan Jangka Panjang. RPHJPd merupakan rencana strategi dan program kerja serta aspek pembiayaan yang akan dilaksanakan secara terukur dan transparan dalam rangka mengelola suatu kawasan hutan dan masyarakatnya untuk jangka waktu tertentu 1 tahun.Kunjungi juga Kegiatan Perencanaan Kehutanan Berdasarkan PP 44 tahun 2004Sistematika penyusunan RPHJPd ini terdiri dari enam Bab. Bab pertama adalah pendahuluan yang terdiri dari 4 sub bab yaitu latar belakang, maksud dan tujuan, ruang lingkup serta batasan kedua berkaitan dengan deskripsi kawasan yang terdiri dari empat sub bab yaitu letak dan luas wilayah, batas wilayah, kondisi sosial ekonomi dan budaya, serta potensi dan misi kemudian dicantumkan di dalam Bab 3 yang terdiri dari sub bab isu strategis, permasalahan serta visi dan misi. Sementara pada Bab keempat mencantumkan program dan kegiatan yang akan dilaksanakan sehingga bab ini terdiri dari sub bab perencanaan hutan, pemanfaatan hutan, reboisasi dan rehabilitasi, perlindungan dan pengamanan hutan, pemberdayaan masyarakat serta koordinasi. Pada Bab ini paling tidak harus mencantumkan enam atau tujuh program yang kelima adalah Bab pemantauan yang terdiri dari sub bab pembinaan pengawasan, evaluasi dan pelaporan. Sistematika ini kemudian akan ditutup dengan Bab 2020. Bahan Kuliah Umum Rencana Pengelolaan Hutan Tingkat Tapak. UPT-KPHP Katingan Hulu Unit XVII. Kalimantan Tengah. Tidak dipublikasikanPenulis Zega Hutan & Helmi Rouli L.RencanaPengelolaan Hutan Desa 25 April 2022. Daftar Nama non warga pemilik garapan hutan 23 April 2022. Profil Lembaga Pengelola Hutan Desa 23 April 2022. Profil Lembaga Pengelola Hutan Desa 23 April 2022. Peta Kerja LPHD 25 April 2022. Pemasangan Petunjuk Arah Lokasi Wisata Air Terjun Ci Ti'is 03 Mei 2022. Muara Danau Village Forest Management Institution LPHD is a forum on forest management activities that aim to improve community welfare. At present, the condition of the farming business is not effective, so it requires some rules as a measure of success. This study aims to analyze the institution of the Muara Danau Village Forest Management Institution LPHD in the implementation of Village Forest Management. The research was conducted in Muara Danau Village, Semende Darat Laut Subdistrict, Muara Enim Regency, South Sumatra Province, from March to April 2020. Data were analyzed by using the SSBP approach. The results of the study showed the situation of farmers utilizing forest resources in the form of water sources and non-timber forest products. Smallholders manage the forest based on institutional structure stated in the AD/ART, and administrative sanctions. In terms of planting patterns in the arable land, the structure controls farmer behavior by using an agroforestry system. This makes Muara Danau Village Forest Management Institution LPHD obtain a good performance in the aspect of institutional management which is measured by the involvement of members and institutional administrators in group activities/training 91% and the types of binding group rules in the form of written rules AD/ART as well as unwritten rules 84% in managing areas measured based on the type of forest resource conservation activity 95%. However, managing businesses have not obtained optimal results, as measured by the absence of institutions that handle the marketing of forest products for groups cooperatives. Based on the results of the research, the institution of Muara Danau Village Forest Management Institution LPHD is categorized as good. Figures - uploaded by Hari KaskoyoAuthor contentAll figure content in this area was uploaded by Hari KaskoyoContent may be subject to copyright. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 185Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 18 Desember 2021 185-204p-ISSN 1979-6013 e-ISSN 2502-4221Terakreditasi RISTEKDIKTI Nomor 200/M/KPT/2020PENGELOLAAN HUTAN DESA DI KPH WILAYAH VIII SEMENDO DARI PERSPEKTIF KINERJA KELEMBAGAANVillage Forest Management in Semendo FMU Region VIII from Institutional Performance PerspectiveFito Apriandana, Rahmat Safe’i, Indra Gumay Febryano, & Hari KaskoyoJurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung Jln. Prof. Dr. Soemantri Brojonegoro No. 1 Gedung Meneng, Bandar Lampung Email 20 Agustus 2020, direvisi 14 Desember 2021, disetujui 15 Desember 2021ABSTRACTMuara Danau Village Forest Management Institution LPHD is a forum on forest management activities that aim to improve community welfare. At present, the condition of the farming business is not effective, so it requires some rules as a measure of success. This study aims to analyze the institution of the Muara Danau Village Forest Management Institution LPHD in the implementation of Village Forest Management. The research was conducted in Muara Danau Village, Semende Darat Laut Subdistrict, Muara Enim Regency, South Sumatra Province, from March to April 2020. Data were analyzed by using the SSBP approach. The results of the study showed the situation of farmers utilizing forest resources in the form of water sources and non-timber forest products. Smallholders manage the forest based on institutional structure stated in the AD/ART, and administrative sanctions. In terms of planting patterns in the arable land, the structure controls farmer behavior by using an agroforestry system. This makes Muara Danau Village Forest Management Institution LPHD obtain a good performance in the aspect of institutional management which is measured by the involvement of members and institutional administrators in group activities/training 91% and the types of binding group rules in the form of written rules AD/ART as well as unwritten rules 84% in managing areas measured based on the type of forest resource conservation activity 95%. However, managing businesses have not obtained optimal results, as measured by the absence of institutions that handle the marketing of forest products for groups cooperatives. Based on the results of the research, the institution of Muara Danau Village Forest Management Institution LPHD is categorized as good. Keywords Institutional, performance, village forest, and Lembaga Pengelola Hutan Desa LPHD Muara Danau merupakan wadah dalam kegiatan pengelolaan hutan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Saat ini kondisi usaha taninya terbilang belum efektif, sehingga perlu adanya pengaturan sebagai alat ukur keberhasilan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kelembagaan LPHD Muara Danau dalam pelaksanaan pengelolaan Hutan Desa. Penelitian dilaksanakan di Desa Muara Danau, Kecamatan Semende Darat Laut, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan pada bulan Maret sampai dengan April 2020. Data yang dianalisis menggunakan pendekatan situation, structure, behavior, dan performance SSBP. Hasil dari penelitian menunjukkan terkait situasi petani memanfaatkan sumber daya hutan berupa sumber air dan hasil hutan non kayu. Petani mengelola hutan berdasarkan struktur kelembagaan yang tercantum dalam AD/ART dan sanksi administratif. Struktur mengontrol perilaku petani, yaitu pola penanaman lahan garapan menggunakan sistem agroforestri. Hal tersebut menjadikan LPHD Muara Danau memperoleh kinerja yang baik pada aspek kelola kelembagaan yang diukur berdasarkan keterlibatan anggota dan pengurus lembaga dalam kegiatan kelompok/pelatihan 91% dan jenis aturan-aturan kelompok yang mengikat berupa aturan tertulis AD/ART serta aturan secara tidak tertulis 84% dalam pengelolaan kawasan diukur berdasarkan jenis aktivitas konservasi sumber daya hutan 95%. Namun, pada kelola usaha belum memperoleh hasil optimal, diukur berdasarkan lembaga yang menangani pemasaran hasil hutan untuk kelompok koperasi belum ada. Berdasarkan hasil penelitian, kelembagaan LPHD Muara Danau dikategorikan baik. Kata kunci Kelembagaan, kinerja, hutan desa, dan organisasi.©2021 JPSEK All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. doi I. PENDAHULUANSuatu sistem sosial berupa perilaku yang dilihat dengan norma, etika, prosedur, nilai, serta aturan yang memiliki area aktivitas tempat belangsungnya kegiatan merupakan pengertian dari kelembagaan. Hapsari & Surya, 2017. Kelembagaan bertujuan sebagai wadah ataupun tempat yang mencakup aturan, etika, dan kode etik dalam kelompok yang berfungsi untuk mengakomodir suatu kegiatan Noor, 2014. Kelembagaan dalam prosesnya disesuaikan berdasarkan tujuan yang akan disampaikan sesuai bidang yang dituju, salah satunya kelembagaan dalam pengelolaan yang mampu untuk mewadahi pengelolaan hutan merupakan kelembagaan hutan yang diinginkan Djelau et al., 2014. Kegiatan pengelolaan hutan tidak terlepas dari masyarakat disekitarnya Baynes et al., 2015; Brown & Sonwa, 2015; Pujo et al., 2018. Adanya koordinasi dari pihak pengelola hutan, kelembagaan pada hutan tersebut dapat dikatakan berjalan dengan baik Safe’i et al., 2018. Hutan Desa merupakan program skema perhutanan sosial yang tertera berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor tentang Perhutanan Sosial. Penyelenggaraan Hutan Desa HD dengan melibatkan peran serta masyarakat dan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan desa Asmin et al., 2019; Mulyana et al., 2017; Sedia et al., 2018; Suwarti, Soeaidy, 2015. Kegiatan pemanfaatan HD memiliki lembaga yang mengatur tentang pengelolaan HD, yaitu Lembaga Pengelola Hutan Desa LPHD yang merupakan sebuah wadah bagi masyarakat dalam kegiatan pengelolaan hutan dan bertanggung jawab menjaga kelestarian kawasan hutan yang dikelolanya Qurniati et al., 2017. Peran serta fungsi dari kelembagaan perlu ditingkatkan untuk mengetahui apakah pengelolaan pada HD akan lebih lengkap. Hal ini mengingat sebagaimana masyarakat serta pemangku memiliki kepentingan yang sama secara langsung serta hubungan ketergantungan yang kuat antar sesama masyarakat. Keberadaan LPHD memberikan manfaat serta dampak positif bagi masyarakat. Aturan-aturan yang termuat dalam kelembagaan LPHD biasanya berisikan tentang aturan internal maupun eksternal yang memuat sanksi yang dijadikan suatu kontrol pada sistem anggota lembaga dalam pengelolaan Muara Danau memiliki pengelolaan usahatani yang terbilang belum efektif. Padahal, usahatani menjadi salah satu faktor efektivitas kelembagaan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat Apriandana et al., 2021. Mengetahui keberhasilan dalam pengelolaan hutan perlu adanya alat ukur yang dapat diakui secara umum oleh masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kelembagaan dan mengetahui bagaimana karakteristik serta proses LPHD Muara Danau dalam strategi pengelolaan HD. Selain untuk strategi pengelolaan hutan, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan para perumus kebijakan untuk acuan pengambilan keputusan, yaitu Pemerintah Kabupaten Muara Enim, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, dan Pemerintah Pusat, dalam menentukan arah dan kebijakan pengelolaan Hutan Desa pada Kesatuan Pengelolaan Hutan KPH Wilayah VIII METODE PENELITIANA. Waktu dan Lokasi PenelitianPenelitian ini dilaksanakan di bulan Maret-April 2020 yang berlokasikan di Desa Muara Danau, Kecamatan Semende Darat Laut, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan. Pada Gambar 1 menunjukkan peta lokasi penelitian. Metode penentuan lokasi penelitian yaitu Desa Muara Danau dilakukan secara purposive dengan pertimbangan Desa Muara Danau Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 18 Desember 2021 185-204186 Pengelolaan Hutan Desa di KPH Wilayah VIII Semendo ......Fito Apriandana, Rahmat Safe’i, Indra Gumay Febryano, dan Hari Kaskoyo187merupakan salah satu dari tiga desa tertua yang memiliki HD di Semende, namun sampai saat ini pengembangan usahatani kelompok di LPHD masih terbilang Populasi dan Sampel PenelitianSeluruh anggota tani yang terdaftar sebagai anggota LPHD merupakan cakupan populasi yang diamati pada penelitian ini yang terdapat pada wilayah administrasi Desa Muara Danau yang berjumlah 120 orang. Mereka tergabung dalam 6 Kelompok Usaha Perhutanan Sosial KUPS. Teknik pengambilan sampel berdasarkan teori Sugiyono menggunakan dua metode, yaitu purposive sampling terdiri dari pengurus LPHD, kepala KPH, dan staf KPH yang menangani pengelolaan HD dan random sampling terdiri dari anggota tani KUPS LPHD Muara Danau yaitu dipilih secara acak. Jumlah populasi penelitian sebanyak 55 anggota tani KUPS yang dihitung berdasarkan formula Slovin. Menurut Arikunto 2000, formula slovin merupakan salah satu formula yang digunakan dalam menentukan jumlah reponden penelitian dengan syarat jumlah populasi lebih dari 100. Formula slovin yang digunakan sebagai Jumlah Populasin Jumlah RespondenE Presisi 10%C. Teknik Pengumpulan dan Analisis DataData primer dan data skunder merupakan data utama yang dikumpulkan pada penelitian ini. Data sekunder dikumpulkan melalui studi dokumentasi. Sedangkan data primer dikumpulkan melalui wawancara menggunakan kuesioner dan primer dan data skunder merupakan data utama yang dikumpulkan pada penelitian ini. Data sekunder dikumpulkan melalui studi dokumentasi. Sedangkan data primer dikumpulkan melalui wawancara menggunakan kuesioner dan observasi.1........................................Sumber Source Kesatuan Pengelolaan Hutan Wilayah Unit VIII Semendo, 2020Gambar 1. Peta lokasi penelitianFigure 1. Research site map III. HASIL DAN PEMBAHASANA. Karakteristik RespondenTabel 1 menjelaskan kriteria umur anggota tani diklasikasikan menjadi tiga yaitu, 64 tahun. Usia anggota tani HD di Muara Danau berkisar 25-58 tahun, dengan rata-rata umur 15-64 tahun 98%. Rata- rata ini didapatkan berdasarkan hasil pada Tabel 1 yang menunjukkan jumlah responden berumur 15-64 berjumlah 54 orang dari 55 orang. Studi yang dikemukakan Tahir et al., 2018, manusia dikatakan produktif apabila memiliki usia 15-64 tahun yang berarti mampu dalam kondisi sik dan tenaga dalam bekerja untuk terlibat langsung dalam kegiatan usaha tani. Umur menjadi faktor penting yang memengaruhi produktivitas seseorang dalam bekerja. Seperti yang diungkapkan Sagita et al., 2019, bahwa peningkatan umur seseorang berpengaruh terhadap kemampuan kerja, akan tetapi penurunan kemampuan kerja seseorang dialami pada titik umur tertentu. Petani yang termasuk usia non produktif >64 tahun hanya satu orang 2%, dikarenakan merasa masih mampu bekerja untuk memenuhi kebutuhan Tabel 1 sebagian besar tingkat pendidikan petani masih tergolong rendah. Mayortitas petani berpendidikan terakhir setara lulus Sekolah Dasar SD. Budiartiningsih et al., 2010, berpendapat bahwa tingkat pendidikan pada kegiatan usaha tani sebagian besar berpendidikan dasar. Tingkat pendidikan petani LPHD Muara Danau diklasikasi menjadi tiga, yaitu Sekolah Dasar SD, Sekolah Menengah Pertama SMP, dan Sekolah Menengah Atas SMA. Sebanyak 27 orang 49% mengenyam pendidikan SD, 15 orang 27% mengenyam pendidikan SMP, dan 13 orang 24% mengenyam pendidikan SMA dapat memengaruhi peningkatan usaha hasil produksi tani. Seperti yang diungkapkan oleh Sunanto et al. 2019 dan Susanti et al. 2016, mengatakan bahwa tingkat pendidikan berdampak positif terhadap peningkatan produksitivitas hasil usaha tani yang berpengaruh terhadap peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani. 188Tabel 1. Karakteristik petani LPHD Muara DanauTable 1. Typical of Muara Danau LPHD farmersNoNumberKarakteristikCharacteristicsJumlah RespondenOrangNumber of Respondents PeoplePersentase%Percentage %1. Umur TahunAge Year64 T 1 2JumlahTotal 55 1002. Tingkat PendidikanLevel of EducationSD 27 49SMP 15 27SMA 13 24JumlahTotal 55 1003. Luas Lahan HaLand Area Ha1 19 13 242 21 383 2 4Sumber Source Hasil pengolahan data sekunder Result of secondary data processing, 2020Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 18 Desember 2021 185-204 189Menurut Maramba 2018 dan Maryoni 2015, tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam pengembangan kapasitas petani, apabila tingkat pendidikan SDM rendah akan berpengaruh langsung terhadap tingkat produktivitas dan tingkat pendapatan petani sehingga sulit bagi mereka untuk melaksanakan adopsi dan inovasi. Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar petani 38% memiliki lahan seluas 2 ha. Luas lahan yang digarap petani LPHD Muara Danau diklasikasikan menjadi empat, yaitu 1 ha, 1,5 ha, 2 ha, dan 3 ha. Sebanyak 19 orang 35% mengelola lahan seluas 1 ha, 13 orang 24% mengelola lahan seluas 1,5 ha, 21 orang 38% mengelola lahan seluas 2 ha, dan 2 orang 4% mengelola lahan seluas 3 ha. Menurut Saihani 2011 dan Winarni et al. 2016 menyatakan, bahwa semakin luas lahan yang dikelola, maka semakin besar pendapatan yang diterima oleh petani. Pembagian luas lahan sudah ditentukan sejak lama. Penduduk setempat membuka lahan serta mengklaim untuk dijadikan lahan garapan mereka. Izin pemanfaatan yang diberikan pada petani terhadap lahan yang awalnya sudah digarap dilakukan dengan syarat mendaftarkan diri serta mendaftarkan lahan garapannya. Izin pemanfaatan lahan diberikan melalui program HD dengan jangka waktu 35 tahun sesuai dengan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Desa IUPHHK-HD dan dapat diperpanjang setelah dilakukan evaluasi. B. Kinerja Lembaga Pengelola Hutan Desa LPHD Muara Danau1. Situasi Situation Kelembagaan di LPHD Muara DanauLPHD Muara Danau merupakan lembaga desa yang menaungi 6 Kelompok Usaha Perhutanan Sosial KUPS yang anggotanya merupakan penggarap lahan HD Muara Danau. Adapun KUPS yang tergabung di dalam LPHD Muara Danau adalah Bukit Hijau, Bukit Indah, Talang Dengung 2, Talang Baru 1, Talang Baru 2, Bukit. LPHD Muara Danau pada tahun 2011 terbentuk. Pengelolaan Hutan Desa di KPH Wilayah VIII Semendo ......Fito Apriandana, Rahmat Safe’i, Indra Gumay Febryano, dan Hari KaskoyoTabel 2. Kinerja Lembaga pengelolaan hutan di LPHD Muara DanauTable 2. The performance of the forest management institution in LPHD Muara DanauSituasi SituationStruktur StructurePerilakuBehaviorKinerja PerformanceLembaga Pengelola Hutan Desa LPHD merupakan lembaga yang dinaungi oleh Kelompok Usaha Pehutanan Sosial KUPS.Pemberian Hak Pengelolaan Hutan Desa HPHD diberikan selama 35 tahun berdasarkan yang selanjutnya dikeluarkan Aturan dalam menjalankan LPHD berdasarkan pedoman yang dimuat dalam AD/ART. Masa bakti pengurus LPHD Muara Danau selama tiga tahun dan setelah itu dilakukan pemilihan untuk pengurus baru dapat pada masa jabatan persil merupakan bagian dari penguatan LPHD yang dilakukan secara partisipatif. Pada LPHD Muara Danau pembatas antar lahan pengelola yaitu tumbuhan. Petani LPHD Muara Danau memanfaatkanImplementasi pembangunan SDM yang baik memberikan gambaran terhadap peningkatan kinerja dan pencapaian tujuan LPHD Muara Danau. Penilaian kinerja pada LPHD didasarkan oleh tiga aspek yaitu, aspek kelola kelembagaan, kelola kawasan, dan kelola Source Data primer Primary data, 2021 Pada tahun 2014 LPHD menerima izin yang telah diserahkan dan ditetapkan pada peta areal kerja HD dari Menteri LHK dengan Nomor SK. 622/Menhut-II/2014. Pada tahun 2016 menerima izin pada Kawasan hutan lindung berupa izin Hak Pengelolaan Hutan Desa HPHD di Bukit Jambul Asahan seluas ± 260 ha dengan Nomor SK. 386/Kpts/Dishut/2016. Terbentuknya LPHD Muara Danau didasari oleh keinginan masyarakat desa untuk mengelola HD Wilayah Unit VIII KPH Semendo untuk memenuhi kebutuhan mereka. Sejak terbentuknya LPHD, aktivitas anggota tani tidak berjalan dengan maksimal. Pemerintah dalam hal ini memberikan dan menyediakan fasilitas dalam bentuk pendampingan dari KPH Semendo, Hutan Kita Institute HaKI, Wahana Bumi Hijau, dan Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat PKSM.Pengelolaan hutan di Desa Muara Danau, tidak terlepas dari tradisi di dalamnya. Hasil wawancara menunjukkan, sebanyak 9 orang 16% menganggap tradisi yang ada di Desa Muara Danau ada dan masih dilaksanakan oleh petani LPHD Muara Danau. Tradisi yang masih diterapkan dalam 5 tahun terakhir, yaitu melakukan syukuran pasca-panen. Sarmanudin Ketua LPHD mengatakan, syukuran yang dilakukan pasca-panen bertujuan sebagai wujud dari rasa syukur kepada Tuhan SWT atas pemberian yang mereka terima, namun seiring dengan berjalannya waktu tradisi tersebut tidak dilaksanakan lagi. Sebanyak 46 orang 84% mengatakan tidak ada tradisi yang dilaksanakan dalam 5 tahun terakhir Gambar 2.Pada dasarnya, tradisi yang merujuk pada pengelolaan sumber daya memperkuat posisi masyarakat dalam keberhasilan program kehutanan. Seperti yang diungkapkan Yeny et al. 2016, keberhasilan program melestarikan lingkungan dengan tetap menjaga tradisi yang ada sehingga membentuk interaksi antara manusia dan masyarakat Desa Muara Danau tidak terlepas dari lingkungan sekitar dalam wujud aktivitas sosial ekonomi dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup. Seperti yang diungkapkan Ramadhan et al. 2015, bahwa interaksi masyarakat dengan hutan dibangun dalam bentuk aktivitas sosial ekonomi masyarakat untuk mensejahterakan diri mereka. Interaksi yang dibentuk masyarakat Desa Muara Danau khususnya petani LPHD berupa pemanfaatan sumber daya alam. Jenis sumber daya alam yang diakses adalah air dan hasil hutan kayu/non desa menggunakan air untuk keperluan air minum, mencuci, mandi, dan mengairi sawah menggunakan 190Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 18 Desember 2021 185-204Sumber Source Data primer Primary data, 2020Gambar 2. Persepsi petani terhadap tradisi mengelola 2. Farmers' perception of the tradition of managing forests 191sistem irigasi. Air yang diakses masyarakat bersumber dari Bukit Jambul Asahan yang terletak dibagian hulu Desa Muara Danau Gambar 3. Terlepas dari pemanfaatan air, pengurus LPHD Muara Danau melakukan konservasi tanah dan air guna pasokan air tetap terjaga. Menurut Fatimah et al. 2016, menjelaskan bahwa untuk menjaga kualitas serta pemasokan air untuk digunakan maka perlu dilakukan kagiatan konservasi tanah dan konservasi yang dilakukan pengurus dan anggota tani, yaitu dengan menanam bambu di sempadan sungai Gambar 4. Sarmanudin ketua LPHD, mengatakan penanaman bambu di sempadan sungai mampu menjaga kualitas air dan kanan kiri sempadan sungai agar tidak terjadi longsor yang mengakibatkan air menjadi keruh. Menurut Raka et al. 2011, bahwa bambu memiliki kemampuan untuk mengikat air dan tanah jauh lebih baik daripada pepohonan hingga 90%. Sedangkan pepohonan hanya dapat menyerap air hujan sampai kemampuan 35%–40%. Sejalan dengan Irvantia et al. 2014, bahwa bambu memiliki fungsi untuk mencegah erosi dan sebagai wadah penyimpan air sehingga bambu dikategorikan sebagai tanaman konservasi dan atau hasil hutan bukan kayu memiliki keterbatasan yang didasarkan Sumber Source Dokumentasi pribadiGambar 3. Aliran air yang diakses masyarakat desaFigure 3. The water ow that is accessed by the village communitySumber Source Dokumentasi pribadiGambar 4. Tanaman bambu untuk konservasi tanah dan airFigure 4. Bamboo plants for soil and water conservationPengelolaan Hutan Desa di KPH Wilayah VIII Semendo ......Fito Apriandana, Rahmat Safe’i, Indra Gumay Febryano, dan Hari Kaskoyo pada ketergantungan yang sangat tinggi masyarakat Desa Muara Danau terhadap HHBK tesebut. Masyarakat yang memanfaatkan hasil hutan, baik di zona pemanfaatan maupun di zona lindung sudah terdaftar sebagai anggota tani LPHD Muara Danau. Lahan yang mereka kelola diwajibkan untuk menanam tanaman multiguna yang biasa disebut Multipurpose Tree Species MPTs. Menurut Septiawan et al., 2017, MPTs adalah komoditi utama setelah tanaman perkebunan. Bapak Abdur penyuluh kehutanan mengatakan, jika pohon yang ditanaman menghasilkan produk yang memiliki nilai jual, maka seseorang akan merasa enggan menebang pohon tersebut. Aturan ini diterapkan guna mengontrol aktivitas illegal logging menjadi HHBK yang ditanam pada lahan HD terdiri atas 1 empat jenis tanaman perkebunan, yaitu kopi Coffea sp sebagai komoditas utama, cengkeh Syzygium aromaticum, randu Ceiba pentandra, dan kelapa Cocos nucifera dan 2 tujuh jenis tanaman buah, yaitu jengkol Archidendron pauciorum, durian Durio zibethinus, nangka Artocarpus heterophyllus, alpukat Persea americana, matoa Pometia pinnata, petai Parkia speciosa, dan cempedak Artocarpus integer. Pada umumnya petani menjualkan hasil hutannya ke pasar atau tengkulak. HHBK berperan penting dalam menjaga eksistensi HD tetap berkelanjutan Irawanti et al., 2012. Jenis tanaman kayu keras yang ditanam atau ada sejak dahulu pembukaan lahan, yaitu afrika Vernonia amygdalina, bambang lanang Michelia champaca, dan randu Ceiba pentandra.2. Struktur Structure Kelembagaan di LPHD Muara DanauStruktur didenisikan sebagai perangkat organisasi yang di dalamnya mengatur tata kelola dan perkembangan suatu kelompok berfungsi sebagai pemisah tugas dan juga sebagai kontrol anggota Marita, 2015. Organisasi yang di dalamnya terdapat struktur kelembagaan bertujuan untuk mengontrol aktivitas pengurus dan anggota dalam sebuah sistem yang disusun. Aktivitas dari kelembagaan digambarkan dan dijelaskan pada bagian-bagian bagan yang tercantum pada struktur kelembagaan. Struktur kelembagaan merupakan alternatif 192Tabel 3. Sanksi Administratif LPHD Muara DanauTable 3. Administrative sanctions for LPHD Muara DanauAturan Formal Sanksi AdministrasiFormal Rules Administrative SanctionsPenghentian Kegiatan Sementara di Lapangan Temporary Suspension of Field ActivitiesPencabutan HakRevocation of Right1. Tidak menyusun rencana kerja pengelolaan LPHD selama jangka waktu berlakunya HPHD1. Memindahtangankan atau mengagunkan serta mengubah status serta fungsi dari kawasan hutan2. Tidak melaksanakan penataan batas 2. Menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan lain di luar rencana pengelolaan hutan desa3. Tidak melakukan perlindungan hutan3. Tidak mengelola hutan desa berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari4. Tidak melaksanakan penatahusaan hasil hutanSumber Source Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 18 Desember 2021 185-204 193kelembagaan untuk para pemangku kepentingan dalam rangka menyusun berbagai hal dalam sebuah sistem. Struktur yang dimaksud menjelaskan aturan-aturan, norma, dan kebijakan yang berlaku baik di organisasi maupun main yang dibuat berfungsi sebagai kontrol pengurus dan anggota serta dapat dipantau oleh pengurus atau pihak tertentu yang memiliki wewenang untuk memberikan sanksi kepada pelanggar aturan. Berdasarkan SK. 622/Menhut-II/2014, LPHD Muara Danau memiliki hak kelola lahan seluas ± 260 Ha terbagi atas zona lindung seluas ± 89 Ha dan zona pemanfaatan dan jasa lingkungan ± 171 Ha. Pembagian zona mengacu pada PP Nomor 6 Tahun 2007 tentang Pemanfaatan dan Zona Perlindungan Pada Hutan Lindung Pasal 12 Ayat lanjuti yang selanjutnya dikeluarkan SK. 386/Kpts/Dishut/2016 tentang Pemberian Hak Pengelolaan Hutan Desa HPHD selama 35 tahun, memuat kewajiban, larangan, hak pencabutan lembaga, dan sanksi. Aturan tersebut wajib dipatuhi oleh setiap pengurus dan anggota tani LPHD Muara Danau. Sanksi administrasi akan diberikan pada pelanggar aturan yaitu berupa pemberhentian kegiatan-kegiatan yang dilakukan di lapangan untuk sementara dan sanksi administratif berupa pencabutan hak Tabel 3. Pedoman yang digunakan dalam pembuatan aturan main dimuat ke dalam AD/ART. Aturan tentang perhutanan sosial dibuat mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor dan turunannya yang menjadi dasar dalam pembuatan AD/ART. Tujuan yang dimuat dalam AD/ART sudah sejalan sesuai peraturan terkait dengan mengedepankan kualitas kesejahteraan kelompok khususnya dan masyarakat Desa Muara Danau melalui usaha-usaha kehutanan yang berwawasan konservasi. Aturan main yang dimuat dalam AD/ART sudah sesuai dengan pedoman pembuatan aturan. Sanksi yang dibuat untuk para pelanggar aturan juga sudah sesuai dengan pedoman. Pemberian sanksi kepada para pelanggar aturan bertujuan untuk memberikan efek jera terhadap pelaku kegiatan Bakar et al., 2018.Aturan-aturan di atas, memerlukan struktur kepengurusan sebagai pelaksana dalam mensukseskan pengelolaan HD. Pembentukan susunan organisasi dan kepengurusan ditetapkan melalui Keputusan Kepala Desa Muara Danau, Kecamatan Semende Darat Laut, Kabupaten Muara Enim Nomor SK. 140/04/MD/2011 tentang Susunan Pengurus Lembaga Hutan kepengurusan didasari oleh pembentukan lembaga desa dalam hal ini LPHD yang dimuat ke dalam Peraturan Desa Muara Danau, Kecamatan Semende Darat Laut, Kabupaten Muara Enim Nomor 140/04/MD/2011 tentang Pembentukan Lembaga Desa. Susunan kepengurusan LPHD Muara Danau terdiri dari susunan berupa ketua, sekretaris, bendahara, serta seksi-seksi Gambar 5. Kepengurusan yang terbentuk bertujuan untuk mengatur dan menjaga keutuhan organisasi agar tetap terorganisir dengan baik. Setelah tiga tahun, masa bakti kepengurusan LPHD Muara Danau terhenti dan akan dipilih kembali kepengurusan yang baru pada masa jabatan selanjutnya. Namun, masa bakti kepengurusan belum berjalan dengan efektif. Sejak terbentuknya LPHD, struktur kepengurusan hanya mengalami perubahan satu kali. Alasannya, karena belum ada yang mampu untuk mengatur dan menggantikan posisi kepengurusan dalam menjalankan beberapa kewajiban sebagai pengurus. Berdasarkan SK. 140/04/MD/2011, terdapat beberapa tugas pengurus LPHD Muara Danau 1 Melaksanakan penataan batas hak pengelolaan hutan; 2 Menyusun rencana kerja hak pengelolaan hutan desa selama jangka waktu berlakunya Pengelolaan Hutan Desa di KPH Wilayah VIII Semendo ......Fito Apriandana, Rahmat Safe’i, Indra Gumay Febryano, dan Hari Kaskoyo 194hak pengelolaan hutan desa; 3 Melakukan perlindungan hutan; 4 Melaksanakan rehabilitasi areal kerja hutan desa; 5 Melaksanakan pengkayaan tanaman areal kerja hutan desa; dan 6 Melaporkan kemajuan kegiatan tahunan kepada Kepala LPHD sangat menentukan berlangsungnya Rencana Pengelolaan Hutan Desa RPHD. Secara partisipatif LPHD melakukan penilaian terhadap kapasitas lembaga tersebut. Selama jangka waktu izin baik jangka panjang maupun jangka pendek, LPHD menetapkan beberapa target dalam pengembangan kelembagaannya. LPHD berperan dalam rangka menentukan upaya-upaya yang akan dilakukan, seperti pengembangan struktur organisasi lembaga desa sesuai dengan rencana kerja hutan desa, menetapkan aturan internal lembaga desa, membuat rencana pendampingan minimal selama 3 tahun, pembentukan Badan Usaha Milik Desa atau koperasi, serta menjalin kerja sama atau bermitra dengan pihak-pihak lain, dan upaya lainnya. Pengembangan kelembagaan ini dimuat ke dalam RPHD. Situasi dan struktur diharapkan mampu memengaruhi perilaku Sumber Daya Manusia SDM yang selanjutnya berpengaruh kepada kinerja Perilaku Behavior Anggota dan Pengurus LPHD Muara DanauSuatu poses yang dimana dapat diamati, dicatat, serta digambarkan oleh orang lain ataupun yang melakukannya baik itu pada proses penyampaian pengetahuan suatu stimulus sampai pada penentuan sikap merupakan arti dari sikap perilaku. Prasada et al., 2016 dan Surati, 2014. Perilaku merupakan aspek yang penting dimiliki petani HD. Menurut Mayanti et al. 2018, perilaku muncul didorong oleh serangkaian kebutuhan, biasanya petani memenuhi kebutuhan dengan mengelola lahan untuk dijadikan kebun mereka. Sejalan dengan penelitian Irnawati, 2015, masyarakat yang menganggap bahwa hutan sebagai ladang mata pencaharian memiliki perilaku perilaku petani dapat dilihat melalui pemetaan persil, aktivitas pemanfaatan SDA, kegiatan penanaman di HD, frekuensi pertemuan antar-anggota dan pengurus, kegiatan jual beli/penyewaan 194Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 18 Desember 2021 185-204Sumber Source Data primer Primary data, 2020Gambar 5 . Bagan kepengurusan LPHD Muara DanauFigure 5. Muara Danau LPHD management chart 195195lahan, kegiatan illegal logging, dan kegiatan pembakaran persil merupakan bagian dari penguatan LPHD yang dilakukan secara partisipatif untuk menunjukkan batas-batas lahan antar-pengelola. LPHD Muara Danau memiliki peta persil pada tingkat keseluruhan dengan luasan ± 260 ha. Pada tingkat individu dan KUPS belum memiliki peta persil. Pembuatan peta persil dilaksanakan pada tahun 2013. Pembuatan peta persil diawali dengan melakukan sosialisasi peta persil kepada anggota LPHD yang kemudian dilakukan nalisasi pada peta persil tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, pemahaman terhadap batas-batas wilayah kelola sudah dipahami dengan benar oleh pengurus dan anggota tani. Batas yang digunakan petani LPHD Muara Danau sebagai pembatas antar-lahan pengelola, yaitu menggunakan tumbuhan. Tumbuhan yang digunakan antara lain, junjung merah, bambang lanang Michelia champaca,dan pinang Areca catechu. Petani LPHD Muara Danau memanfaatkan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan. Menurut Sutrisno 2014, menjelaskan bahwa sumber daya alam dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk rakyat dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan. Jenis pemanfaatan sumber daya alam yang diakses oleh petani LPHD Muara Danau merupakan sumber daya milik negara yang berarti status kepemilikannya secara tegas dikuasi dan dikontrol oleh negara yang telah diberikan izin pemanfaatannya. Studi yang dikemukakan Hidayat 2011, menjelaskan bahwa sumber daya yang dimilik negara merupakan suatu sumber daya yang statusnya dikuasi dan aktivitasnya diatur dan dikontrol oleh negara. Jenis sumber daya tersebut diakses berupa pemanfaatan tanah dan sumber mata penanaman yang diterapkan di LPHD Muara Danau, yaitu agroforestri. Sesuatu sistem yang mengombinasikan antara tanaman pertanian, pepohonan, serta hewan-hewan ternak pada satu bidang lahan disebut agroforestri Olivi et al., 2015; Safe’i et al., 2019; Zainuddin dan Sribianti, 2018. Petani LPHD mengembangkan jenis tanaman kopi sebagai tanaman utama. Menurut Pratiwi et al. 2019, pada lahan dengan sistem agroforestri kopi, salah satu komoditas yang dapat dibudidayakan yaitu tanaman kopi. Jenis lain yang dikembangkan petani yaitu tanaman MPTs. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, petani yang menanam tanaman kayu jenis MPTS Sebanyak 2 orang 4% yang menanam 3 jenis tanaman, 39 orang 71% yang menanam 3-5 jenis tanaman, dan 14 orang 25% yang menanam >5 jenis tanaman Gambar 6.Petani LPHD Muara Danau mengelola lahan kawasan dengan rata-rata luasan 1-3 ha per KK. Lahan yang dikelola merupakan lahan milik negara yang diberikan izin pengelolaan selama 35 tahun melalui skema HD. Aturan yang diberlakukan kepada petani penggarap untuk tidak memperjual-belikan lahan yang dikelola. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, petani yang menggarap lahan HD sudah memahami dengan baik terkait status lahan HD. Aturan tersebut disosialisasikan kepada para petani untuk tidak memperjual-belikan lahan Sumber Source Data primer Primary data, 2020Gambar 6. Persentase jenis tanaman jenis MPTs yang ditanamFigure 6. Percentage of plant species MPTs type plantedPengelolaan Hutan Desa di KPH Wilayah VIII Semendo ......Fito Apriandana, Rahmat Safe’i, Indra Gumay Febryano, dan Hari Kaskoyo kawasan. Implementasi aturan di lapangan, semua petani yang mengolah lahan HD mematuhi aturan untuk tidak memperjual-belikan lahan kawasan. Sanksi yang diberlakukan kepada para pelanggar aturan akan dikenakan sanksi pencabutan hak pengelolaan. Menurut Markum et al. 2017 menjelaskan akibat dari pemindahtanganan yaitu terkait dengan kapitalisasi lahan, yang berarti akan terakumulasi kepada beberapa orang saja hak penggarapan pengambilan kayu secara ilegal dipengaruhi oleh faktor budaya, sosial, dan psikologis Subarudi dan Putri, 2006. Faktor budaya memiliki pengaruh yang bersentuhan langsung dengan perilaku seseorang melalui aspek kultur kebudayaan. Faktor sosial berupa keluarga, peranan, serta status sosial akan memengaruhi terhadap perilaku melalui kelompok acuan. Faktor psikologis memengaruhi pilihan seseorang melalui motivasi, persepsi, pengetahuan, dan kepercayaan. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, kegiatan pengambilan kayu secara ilegal illegal logging tidak ditemukan sejak terbentuknya HD. Sarmanudin ketua LPHD menjelaskan, aktivitas perambahan hutan dilakukan sejak awal pembukaan kawasan, bertujuan untuk ladang pertanian/perkebunan, bahan baku rumah, dan perdagangan kayu hutan. Aktivitas perambahan hutan menjadi tanggung jawab LPHD dalam mengontrol aktivitas masyarakat sebagai pengelola guna melindungi kawasan hutan dan mencegah terjadinya berbagai tindakan atau ancaman ilegal oleh manusia. Sejalan dengan Ekawati 2013, menyatakan dalam rangka kegiatan perlindungan dan pengamanan kawasan hutan, masyarakat memiliki peranan yang kuat karena masyarakat merupakan unsur utama pada pengelolaan Kinerja Performance LPHD Muara DanauPeningkatan kinerja dan pencapaian tujuan LPHD Muara Danau didasari oleh implementasi pembangunan SDM yang baik Danish dan Usman, 2010. SDM yang baik dipengaruhi oleh sistem pengelolaan hutan yang terorganisir dengan baik. Aktivitas petani dalam mengelola HD dimuat ke dalam RPHD bertujuan untuk menciptakan pola komunikasi yang berkesinambungan. Kelola kelembagaan, kelola kawasan, dan kelola usaha merupakan aspek-aspek penilaian dalam kineja LPHD Muara Kelola KelembagaanLPHD Muara Danau dibentuk berdasarkan peraturan desa tahun 2011 yang kemudian disahkan oleh Menteri LHK dalam bentuk surat keputusan dan diberi HPHD melalui surat keputusan gubernur Sumatera Selatan. Struktur kepengurusan LPHD Muara Danau sesuai dengan lampiran dari Jumlah anggota tani yang terdaftar di LPHD sebanyak 120 orang. Berdasarkan hasil penelitian dengan jumlah responden sebanyak 55, menunjukkan bahwa sebanyak 36 orang 65% mengatakan keikutsertaan kaum wanita 75% anggota hadir dalam kegiatan dan 9% petani mengatakan 50%-75% anggota hadir dalam kegiatan Gambar 8. Kehadiran anggota ditentukan berdasarkan undangan 196Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 18 Desember 2021 185-204 197yang diterima atau kebutuhan kelompok dalam mengikuti kegiatan. Jenis kegiatan kelompok di LPHD Muara Danau berupa penanaman dan patroli perlindungan dan pengamanan hutan.Frekuensi pertemuan/musyawarah rutin akan berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap petani. Berdasarkan hasil wawancara, frekuensi pertemuan kelompok LPHD Muara Danau terbilang tidak rutin, sesuai kebutuhan. Namun, jika terdapat kegiatan pertemuan/musyawarah partisipasi dan kehadiran anggota menunjukkan >75% anggota hadir. Hal ini menunjukkan, bahwa kurangnya kesadaran akan pentingnya pertemuan rutin yang memberikan dampak positif. Menurut Bowo et al. 2011, manfaat yang didapat dari kegiatan pertemuan rutin antara pengurus dan anggota, yaitu 1 tingkat realisasi kegiatan pertemuan rutin anggota kelompok relatif lebih baik, 2 tingkat intensitas kehadiran anggota kelompok dalam pertemuan rutin relatif lebih baik, 3 tingkat sinkronisasi antara kegiatan pertemuan rutin dengan rencana kerja kelompok relatif lebih baik, dan 4 tingkat kemufakatan dalam menyetujui rencana kerja kelompok relatif lebih dan anggota tani, secara partisipasi dan yang telah terencana, melakukan kegiatan pemantauan serta evaluasi pelaksanaan kegiatan kelompok tani. Kegiatan tersebut dimuat ke dalam AD/ART dan RPHD. Aturan yang termuat Sumber Source Data primer Primary data, 2020Gambar 7. Keikutsertaan Wanita dalam keanggotaan 7. Women's participation in LPHD membershipSumber Source Data primer Primary data, 2020Gambar 8. Persentase keterlibatan pengurus dan anggota tani dalam 8. Percentage of management involvement and farmer members in the activityPengelolaan Hutan Desa di KPH Wilayah VIII Semendo ......Fito Apriandana, Rahmat Safe’i, Indra Gumay Febryano, dan Hari Kaskoyo di dalam AD/ART, secara aturan tertulis maupun aturan tidak tertulis merupakan wujud dari kontrol setiap aktivitas petani dalam mengelola lahan HD. Sebanyak 46 orang 84% mengatakan aturan yang mengikat yaitu tertuang pada AD/ART secara tertulis dan pada aturan lainnya untuk aturan tidak tertulis Gambar 9. Sarmanudin ketua LPHD, mengatakan alasan petani 16% yang menjawab aturan yang mengikat berupa aturan tertulis yang tertuang dalam AD/ART saja, karena mereka lupa bahwa adanya aturan yang disepakati tidak tertulis bersama. Aturan tersebut berupa, larangan untuk tidak memindahtangankan lahan garapan kepada orang lain untuk memperoleh keuntungan dan mengelola lahan dengan tetap mengedepankan kelestarian Kelola KawasanKelola kawasan merupakan kegiatan yang berfokus pada pengelolaan lahan untuk dijadikan sebagai ladang mata pencaharian dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan melalui perlindungan dan pengamanan kawasan. Sistem pemanfaatan kawasan yang digunakan LPHD Muara Danau menggunakan pola penanaman agroforestri Tiurmasari et al., 2016. Sejalan dengan penelitian Salampessy et al. 2012 dan Salampessy et al. 2017 bahwa pola agroforestri yang dikenal masyarakat Maluku sebagai dusung mempraktekkan satu tanaman berupa pala diselingi di seluruh kebun. Sistem agroforestri merupakan sistem penggunaan lahan yang mengombinasikan tanaman berkayu dengan tanaman tidak berkayu dalam suatu sistem pengelolaan lahan Puspasari et al., 2017; Wanderi et al., 2019; dan Yulian et al., 2016. Masyarakat sekitar kawasan menjadi fokus utama dalam pengembangan sistem agroforestri. Menurut Wulandari et al. 2014, menyatakan keterlibatan masyarakat sekitar hutan dapat mengoptimalkan lahan hutan dengan menerapkan agroforestri berbasis kondisi sosial ekonomi masyarakat. Pola penanaman ini didasari oleh Peraturan Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Nomor tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Desa, Rencana Kerja Usaha Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan dan Rencana Kerja Usaha Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat pada Pasal 7 Ayat 3 poin d pemanfaatan kawasan hutan meliputi budidaya tanaman obat, tanaman hias, jamur, lebah, penangkaran satwa liar atau budidaya hijauan makanan ternak, agroforestry, silvopasture, dan silvo hasil hutan yang diperoleh petani dari pemanfaatan kawasan berupa kopi sebagai komoditas utama di lahan HD. Pemerintah 198Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 18 Desember 2021 185-204Sumber Source Data primer Primary data, 2020Gambar 9. Persentase jenis aturan kelompok yang mengikatFigure 9. Percentage of types of group binding rules mewajibkan menanam tanaman selain kopi, berupa tanaman MPTs dan tajuk tinggi. Jenis tanaman tersebut merupakan langkah pemerintah untuk mengatasi permasalahan kemiskinan petani dan kerusakan fungsi ekologis. HD Muara Danau yang dikelola LPHD memiliki beberapa jenis jasa lingkungan, keanekaragaman ora dan fauna serta sumber sumber mata air. Berdasarkan hasil wawancara, sebanyak 52 orang 95% melakukan 1 jenis konservasi Sumber Daya Alam SDA di lahan mereka dan 3 orang 5% tidak melakukan konservasi SDA karena lahan yang mereka garap tidak berdekatan dengan sumber aliran air Gambar 11. Jenis konservasi yang dilakukan LPHD Muara Danau, berupa penanaman bambu di kanan dan kiri sempadan sungai. Sesuai dengan penelitian Aminah et al., 2017 pala merupakan tanaman yang berfungsi untuk konservasi tanah dan air di Kota Agung. Pemanfaatan potensi jasa lingkungan sudah sesuai dengan SK Gubernur Sumatera Selatan Nomor tentang IUPHHK-HD kepada LPHD Muara Danau putusan ke-5 poin g tentang kewajiban untuk melakukan tata usaha pemanfaatan hasil pemanfaatan hasil hutan di kawasan hutan lindung memberikan dampak terhadap lingkungan. Berdasarkan hasil wawancara, 48 orang 87% orang 199Pengelolaan Hutan Desa di KPH Wilayah VIII Semendo ......Fito Apriandana, Rahmat Safe’i, Indra Gumay Febryano, dan Hari KaskoyoSumber Source Data primer Primary data, 2020Gambar 10. Persentase jenis pelatihan yang diikuti pengurus/anggotaFigure 10. Percentage of type of training attended by managers / membersSumber Source Data primer Primary data, 2020Gambar 11. Persentase jenis aktivitas konservasi sumber daya hutan. Figure 11. Percentage of types of forest resource conservation activities 200mengatakan 2–4 dampak yang mereka rasakan terhadap lingkungan. Hal ini menunjukkan keseimbangan antara pemanfaatan hasil hutan yang berdampak positif terhadap lingkungan. 5 orang 9% mengatakan >4 dampak yang mereka rasakan terhadap lingkungan, dan 2 orang 4% yang mengatakan 1 dampak yang mereka rasakan terhadap lingkungan Gambar 12.c. Kelola Usaha Komoditi yang ditanam di lahan HD memiliki beragam hasil produksi dalam satu areal lahan yang dikelola. Produksi yang dihasilkan oleh petani, berupa kopi, durian, alpukat, jengkol, dan petai. Menurut Syoandi et al. 2016, pendapatan usahatani serta produksi sangat memengaruhi jumlah pohon yang berproduksi dan luas lahan. Pendapatan utama petani LPHD Muara Danau dari produksi penjualan kopi Febryano, 2008; Rajagukguk et al., 2018. Kopi merupakan komoditi utama yang ditanam petani memberikan nilai jual saat panen dengan harga kisaran Petani memasarkan hasil kopi ke tengkulak. Awal terbentuknya LPHD, pengurus dan anggota berencana untuk membentuk badan koperasi yang menangani bidang pemasaran hasil hutan. Berdasarkan hasil wawancara, modal awal kelompok berasal dari swadaya murni. Pembentukan badan koperasi merupakan usulan dari pengurus LPHD Muara Danau, bertujuan untuk memudahkan petani dalam memasarkan hasil hutan mereka. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, pemasaran hasil hutan petani saat ini masih memasarkan produknya secara individu. Sarmanudin ketua LPHD, mengatakan fungsi pembentukan koperasi untuk penguatan ekonomi petani dalam rangka peningkatan kesejahteraan petani. Hal ini juga memengaruhi kelembagaan yang ada pada tingkat LPHD. Berdasarkan hasil wawancara, pembentukan koperasi mengalami penghentian dalam pelaksaannya. Hal ini dikarenakan masyarakat yang kurang percaya akan kinerja koperasi tersebut dalam menangani pemasaran hasil hutan mereka. Dampak yang dirasakan, berupa tidak adanya mitra yang bekerja sama dengan LPHD, hal ini menyebabkan penyerapan tenaga kerja yang belum ada sampai saat hasil penelitian, LPHD Muara Danau dapat dikatakan melembaga dilihat berdasarkan pengelolaan kelembagaan yang sudah sesuai dengan AD/ART dan RPHD. Aturan-aturan yang telah dipahami seluruh anggota LPHD, terutama dalam pemanfaatan kawasan, sedangkan untuk pengelolaan usaha masih dikatakan kurang karena belum adanya lembaga Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 18 Desember 2021 185-204Sumber Source Data primer Primary data, 2020Gambar 12. Persentase dampak terhadap lingkungan dari pengelolaan hutan desa. Figure 12. Percentage of impact on the environment from village forest management 201pemasaran untuk membantu anggota tani dalam memasarkan hasil hutan mereka. Perlu adanya evaluasi dalam meningkatkan kelola KESIMPULAN DAN SARANA. KesimpulanTingkat karakteristik petani dapat dilihat pada variabel tingkat pendidikan, luas lahan dalam ha, dan umur. Anggota tani mayoritas berada pada tingkat umur 15-64 tahun 98% dimana pada usia ini dapat tergolong produktif dalam melakukan pekerjaan. Tingkat pendidikan sebanyak 27 orang 49% petani mengenyam pendidikan terakhir di bangku Sekolah Dasar SD. Sebanyak 21 orang 38% petani mengelola lahan seluas 2 ha dimana semakin luas garapan petani maka akan berbanding lurus dengan pendapatan yang diperoleh oleh kelembagaan pada LPDH dipengaruhi oleh analisis situasi situation, struktur structure, dan tingkah laku behavior. LPHD Muara Danau memiliki situasi atau kondisi kelembagaan baik. Hal ini dapat dilihat bagaimana struktur organiasi LPHD berjalan serta sistem pengelolaan kelembagaan yang sudah sesuai dengan AD/ART dan RPHD Struktur organisasi LPHD Muara Danau dalam kelembagaan berjalan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Setiap anggota aktif berpartisipasi dalam kegiatan LPHD Muara Danau. Hal tersebut yang menjadikan kinerja LPHD memperoleh hasil baik pada aspek kelola kelembagaan dan kelola kawasan, namun perlu adanya peningkatan pembinaan pada aspek kelola usaha yang menunjukkan belum ada pengembangan usahatani dalam menangani bidang pemasaran hasil SaranPengelolaan pada kelembagaan LPHD Muara Danau sudah baik. Bagi para pihak pelaku lembaga LPHD perlu adanya peningkatan pembinaan terkait pengembangan kelompok usahatani melalui pendampingan yang intensif sebagai keberhasilan dari kelembagaan yang baik oleh perguruan tinggi, swasta, pemerintah, LSM, dan TERIMA KASIH ACKNOWLWDGEMENTUcapan terima kasih diberikan kepada seluruh pihak yang terlibat, khususnya kepada para petani LPHD Muara Danau yang terlibat dalam studi ini, Kesatuan Pengelolaan Hutan Unit VIII Semendo, Kepala Desa Muara Danau yang telah memberikan dukungan, perhatian, fasilitas, serta bantuan dalam proses pengumpulan data selama PUSTAKAAminah, L. N., Safe’i, R., & Febryano, I. G. 2017. Analisis kelembagaan gabungan kelompok tani gapoktan di Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Kota Agung Utara Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung. Journal of Sylva Indosiana, 11, 29– F., Safe’i, R., Febryano, I. G., & Kaskoyo, H. 2021. Kinerja lembaga pengelola hutan Desa Muara Danau Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan. Journal of Community Based Environmental Engineering and Management, 51, 17–27. F., Darusman, D., Ichwandi, I., & Suharjito, D. 2019. Mainstreaming community-based forest management in west sumatra Social forestry arguments, support, and implementation. Forest and Society. A. A., Mizaj, & Maulana, R. 2018. Penerapan sanksi tindak pidana illegal logging di kawasan hutan lindung ditinjau dari uu no. 18 tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan Studi kasus Kecamatan Bener Kelipah Kabupaten Bener Meriah. Jurnal Kajian Ilmu Hukum dan Syariah, 31, 95–111. Hutan Desa di KPH Wilayah VIII Semendo ......Fito Apriandana, Rahmat Safe’i, Indra Gumay Febryano, dan Hari Kaskoyo 202Baynes, J., Herbohn, J., Smith, C., Fisher, R., & Bray, D. 2015. Key factors which inuence the success of community forestry in developing countries. Global Environmental Change, 35, 226–238. C., Supriono, A., Hariyono, K., & Kosasih, S. 2011. Dinamika kelembagaan kelompok tani hutan rakyat lahan kering di Desa Tambak Ukir Kecamatan Kendit Kabupaten Situbondo. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian, 53, 3– H. C. P., & Sonwa, D. J. 2015. Rural local institutions and climate change adaptation in forest communities in Cameroon. Ecology and Society, 202. R., Maulida, Y., & Taryono. 2010. Faktor-faktor yang memengaruhi peningkatan pendapatan keluarga petani di Desa Kedaburapat, Kecamatan Rangsang Barat, Kabupaten Bengkalis. Jurnal Ekonomi, 181, 79– R. Q., & Usman, A. 2010. Impact of reward and recognition on job satisfaction and motivation An empirical study from Pakistan. International Journal of Business and Management, 52, 159–167. I., Panjaitan, P. B., & Susdiyanti, T. 2014. Kajian kelembagaan terhadap keberhasilan kelompok tani hutan rakyat di Desa Durjela Kecamatan Pulau-Pulau Aru Kepulauan Aru, Maluku. Journal Nusa Sylva, 141, 43– S. 2013. Evaluasi implementasi kebijakan desentralisasi pengelolaan hutan produksi. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 103, 187–202. S., Wulandari, C., & Herwanti, S. 2016. Analisis kesediaan menerima wta sebagai proksi pembayaran jasa lingkungan air di Pekon Datar Lebuay Kecamatan Air Naningan Kabupaten Tanggamus. Jurnal Sylva Lestari, 43, 59–70. I. G. 2008. Analisis nansial agroforestri kakao di Lahan Hutan Negara dan Lahan Milik. Perennial, 41, 41. F., & Surya, S. D. 2017. Efektivitas kelembagaan sosial masyarakat dalam pemberdayaan wanita dan keluarga di Kelurahan Ciracas. Journal of Applied Business and Economics, 43, 266– 2011. Pengelolaan sumber daya alam berbasis kelembagaan lokal. Jurnal Sejarah Citra Lekha, 151, 19– S., Suka, A. P., & Ekawati, S. 2012. Peranan kayu dan hasil bukan kayu dari hutan rakyat pada pemilikan lahan sempit Kasus Kabupaten Pati. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 93,113-125. 2015. Perilaku masyarakat dalam pelestarian fungsi hutan taman wisata alam bariat sebagai daerah resapan air. Jurnal Agroforestri, 103, 181– W., Indriyanto, & Riniarti, M. 2014. Pengaruh jumlah ruas cabang terhadap pertumbuhan setek bambu hitam gigantochloa atroviolacea. Jurnal Sylva Lestari, 21, 59–66. U. 2018. Pengaruh karakteristik terhadap pendapatan petani jagung di Kabupaten Sumba Timur Studi kasus di Desa Kiritana, Kecamatan Kambera, Kabupaten Sumba Timur. Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis, 22, 94–101. W. E. 2015. Pengaruh struktur organisasi dan ukuran perusahaan terhadap penerapan business entity concept. Jurnal Akuntansi, 71, 18–40. Latifah, S., & Setiawan, B. 2017. Identikasi pengaruh luas lahan, biaya pemeliharaan, dan jumlah keluar terhadap pendapatan petani Studi kasus di Desa Kepenuhan Raya. Jurnal Sangkareang Mataram, 34, 56– H. S. 2015. Identikasi Pengaruh Luas Lahan, Biaya Pemeliharaan, dan Jumlah Keluar Terhadap Pendapatan Petani Studi Kasus Desa Kepenuhan Raya. Jurnal Sungkai, 32, 34–42. Y. S., Anwar, S., & Prarikeslan, W. 2018. Sikap dan perilaku masyarakat terhadap hutan di kawasan TNKS Kecamatan Gunung Tujuh Kabupaten Kerinci. Jurnal Buana, 21, 180–191. L., Febryano, I. G., Safe’i, R., & Banuwa, I. S. 2017. Performa pengelolaan agroforestri di wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Rajabasa. Jurnal Hutan Tropis, 52, 127–133. Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 18 Desember 2021 185-204 203Noor, M. 2014. Analisis kelembagaan program nasional pemberdayaan masyarakat mandiri perkotaan pnpm-mp untuk penanggulangan kemiskinan. Jurnal Ilmiah Untag Semarang, 32, 113– A. L., Safe’I, R., & Febryano, I. G. 2017. Analisis kelembagaan gabungan kelompok tani GAPOKTAN di kesatuan pengelolaan hutan lindung kota agung utara kabupaten tanggamus provinsi lampung. Jurnal Sylva Indonesiana, I1, 29– R., Qurniati, R., & Firdasari. 2015. Kontribusi agroforestri terhadap pendapatan petani di Desa Sukoharjo 1 Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Pringsewu. Jurnal Sylva Lestari, 32, 1– I. D. N. I., Astiti, N. W. S., & Handayani, M. T. 2016. Perilaku masyarakat dalam pemeliharaan hutan lindung di Banjar Kedisan, Desa Yehembang Kauh, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana. Jurnal Agribisnis dan Agrowisata, 51, 1–10. A. M., Kaskoyo, H., & Herwanti, S. 2019. Esiensi pemasaran agroforestri berbasis kopi berdasarkan keragaan pasar Studi kasus di Pekon Air Kubang, Tanggamus. Jurnal Sylva Lestari, 73, 299–208. Sofhani, T. F., Gunawan, B., & Syamsudin, T. S. 2018. Community capacity building in social forestry development A review. Journal of Regional and City Planning, 292, 113–126. E., Wulandari, C., Darmawan, A., & Banuwa, I. S. 2017. Aspek Sosial Ekonomi pada Sistem Agroforestri di Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan HKm Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung. Jurnal Sylva Lestari. R., Duryat, & Kaskoyo, H. 2017. Penguatan kelembagaan pengelola hutan desa di sekitar Gunung Rajabasa Lampung. Jurnal Sakai Sambayan, 13, 80– C. P., Febryano, I. G., & Herwanti, S. 2018. Perubahan Komposisi Jenis Tanaman dan Pola Tanam pada Pengelolaan Agroforestri Damar. Jurnal Sylva Lestari, 63, 18– I. D. N., Wiswasta, I. G. N. A., & Budiasa, I. M. 2011. Pelestarian tanaman bambu sebagai upaya rehabilitasi lahan dan konservasi tanah di daerah sekitar mata air pada lahan marginal di Bali Timur. Jurnal Pertanian Berbasis Keseimbangan Ekosistem, 11, 11– T. A. F., Susdiyanti, T., & Salampessy, M. L. 2015. Identikasi akses masyarakat terhadap pemanfaatan sumber daya alam Studi kasus di Desa Karang Tengah Kecamatan Babakan Madang Kabupaten Bogor. Jurnal Nusa Sylva, 152, 27– R., Christine Wulandari, & Hari Kaskoyo. 2019. Analisis kesehatan hutan dalam pengelolaan hutan rakyat pola tanam agroforestri di Wilayah Kabupaten Lampung Timur. Talenta Conference Series Agricultural and Natural Resources ANR, 21, 97–103. R., Febryano, I. G., & Aminah, L. N. 2018. Pengaruh keberadaan gapoktan terhadap pendapatan petani dan perubahan tutupan lahan di Hutan Kemasyarakatan. Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial dan Humaniora, 202, 109– M. N., Akhbar, & Muis, H. 2019. Partisipasi petani dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan di Desa Labuan Toposo Kecamatan Labuan Kabupaten Donggala. Jurnal Warta Rimba, 72, 1– A. 2011. Analisis faktor sosial ekonomi terhadap pendapatan petani padi ciherang di Desa Sungai Durait Tengah Kecamatan Babirik Kabupaten Hulu Sungai Utara. Jurnal Ziraa’ah, 31, 219– M., Bone, I., & Febryano, I. G. 2012. Performansi dusung pala sebagai salah satu agroforestri tradisional di Maluku. Tengkawang, 22, 55– M., Febryano, I. G., & Zulani, D. 2017. Bound by debt Nutmeg trees and changing relations between farmers and agents in a moluccan agroforestry systems. Forest and Society, 12, 137–143. G., Fanani, Z., Wieke, & Hasanah, N. 2018. Village’s forest conservation concept with local wisdom at ensaid Panjang Village, Kelam Permai, West Kalimantan. Journal Of Humanities and Social Science, 233, 12–24. W., Indriyanto, & Duryat. 2017. Jenis tanaman, kerapatan, dan stratikasi tajuk pada hutan kemasyarakatan kelompok tani rukun makmur 1 di Register 30 Gunung Tanggamus, Lampung. Jurnal Sylva Lestari, 52, 88–101. & Putri, I. A. S. L. P. 2006. Perambahan hutan di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai Sebuah pendekatan sosiologis. Pengelolaan Hutan Desa di KPH Wilayah VIII Semendo ......Fito Apriandana, Rahmat Safe’i, Indra Gumay Febryano, dan Hari Kaskoyo ResearchGate has not been able to resolve any citations for this Sri MayantiSyafri AnwarWidya PrarikeslanABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang sikap dan perilaku masyarakat terhadap hutan di kawasan TNKS Kecamatan Gunung Tujuh Kabupaten Kerinci. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Subjek penelitian ini adalah dinas kehutannan, tokoh masyarakat dan kepala desa yang berjumlah 13 orang. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi. Analisis data meliputi reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian ini menemukan bahwa 1 Sikap Masyarakat terhadap Perlindungan Hutan di Kecamatan Gunung Tujuh Kabupaten Kerinci a Masyarakat di Kecamatan Gunung Tujuh sudah melakukan kegiatan reboisasi, b Masyarakat Kecamatn Gunung Tujuh setuju apabila seperti diadakannya penyuluhan pelestarian hutan dan masyarakat Kecamatan Gunung Tujuh melaksanakan anjuran tersebut, c Masyarakat di Kecamatan Gunung Tujuh menegur apabila melihat tetangga merusak ekosistem hutan, 2 Perilaku Masyarakat terhadap Hutan Lindung untuk Perambahan Hutan di Kecamatan Gunung Tujuh Kabupaten Kerinci a Masyarakat di Kecamatan Gunung Tujuh telah melarang apabila ada dari anggota masyarakat yang melakukan pembukaan lahan baru, b Masyarakat Kecamatan Gunung Tujuh masih terdapat yang melakukan penebangan pohon dan masyarakat bermata pencarian sebagai petani pada Kecamatan Gunung Tujuh sudah melakukan kegiatan tebang pilih dalam pengambilan pohon pada kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat, c Masyarakat Kecamatan Gunung Tujuh masih terdapat masyarakat yang membuang benda-benda yang dapat merusak kawasan pendapatan utama masyarakat Pekon Air Kubang, Kecamatan Air Naningan, Kabupaten Tanggamus diperoleh dari hasil budi daya dan pemasaran kopi robusta Coffea robusta yang dikelola menggunakan sistem agroforestri. Agroforestri berbasis kopi juga memberikan dampak ekologi yang positif bagi masyarakat sekitar seperti terjaganya mata air yang dimanfaatkan masyarakat untuk memenuhi berbagai kebutuhan rumah tangga. Penelitian pemasaran kopi perlu dilakukan untuk mengetahui saluran pemasaran yang efisien berdasarkan keragaan pasar tiap saluran. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui saluran pemasaran dan menganalisis keragaan pasar kopi robusta. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Desember 2018 di Pekon Air Kubang, Kecamatan Air Naningan, Kabupaten Tanggamus. Data diperoleh melalui wawancara dengan responden yaitu lembaga pemasaran yang terlibat dan petani kopi robusta. Keragaan pasar dianalisis melalui perhitungan marjin pemasaran, marjin keuntungan, share, ratio profit margin, dan efisiensi pemasaran. Hasil penelitian mengidentifikasi tiga saluran pemasaran kopi, yaitu 1 petani – pedagang pengumpul – pedagang besar – pengecer, 2 petani – koperasi – pengecer, dan 3 petani – koperasi. Analisis parameter efisiensi pemasaran EP menunjukkan bahwa ketiga saluran pemasaran efisien dengan nilai EP < 1. Namun secara umum pemasaran kopi pada ketiga saluran cenderung belum efisien. Hal ini ditunjukkan oleh marjin pemasaran dan marjin keuntungan yang cukup tinggi, ratio profit margin yang tidak menyebar secara merata, serta share yang diterima petani kunci agroforestri, efisiensi pemasaran, kopi robusta, marjin pemasaranHutan rakyat dengan pola tanam agroforestri memiliki pengaruh terhadap aspek ekologi, seperti udara bersih, erosi terkendali, serapan karbon, pengaturan tata air, penyangga ekosistem, penjaga stabilitas ekologi, dan perlindungan lingkungan. Oleh karena itu, dalam pengelolaan hutan rakyat pola tanam agroforestri masa kini dan masa depan harus dapat memperhatikan kaidah-kaidah lingkungan. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka hutan rakyat pola tanam agroforestri harus sehat. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan nilai status saat ini kesehatan hutan rakyat pola tanam agroforestri di wilayah Kabupaten Lampung Timur. Studi kasus analisis kesehatan hutan dilakukan pada klaster-plot Forest Health Monitoring FHM hutan rakyat pola tanam agroforestri di Wilayah Kabupaten Lampung Timur. Jumlah klaster-plot FHM yang dibuat sebanyak empat klaster-plot. Parameter indikator kesehatan hutan rakyat pola tanam agroforestri adalah pertumbuhan pohon, kondisi kerusakan pohon, kondisi tajuk, dan kesuburan tanah. Tahapan dari penelitian ini terdiri dari pembuatan plot ukur hutan rakyat pola tanam agroforestri, pengukuran parameter indikator kesehatan hutan rakyat pola tanam agroforestri, pengolahan dan analisis, dan penilaian kesehatan hutan rakyat pola tanam agroforestri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai status kondisi kesehatan hutan rakyat pola tanam agroforestri di wilayah Kabupaten Lampung Timur rata-rata dalam kategori bagus. Hal tersebut menunjukkan bahwa hutan rakyat dengan pola tanam agroforestri akan menghasilkan tingkat kesehatan hutan rakyat yang sehat. Dengan demikian, pembangunan hutan rakyat di wilayah Kabupaten Lampung Timur Provinsi Lampung diarahkan dengan pola tanam agroforestri. Community forests with agroforestry planting systems have an influence on ecological aspects, such as clean air, controlled erosion, carbon uptake, water management arrangements, ecosystems buffer, guarding ecological stability, and environmental protection. Therefore, in the management of community forests the present and future agroforestry planting systems must be able to pay attention to environmental principles. To realize this, the community forest agroforestry planting patterns must be healthy. This study aims to obtain the status of current health of community forests agroforestry planting systems in the area of East Lampung Regency. A case study of forest health analysis were carried out in Forest Health Monitoring FHM plots of community forests agroforestry planting systems in the East Lampung Regency. The number of FHM plots was made in four clusters. Parameters of indicators of community forest health agroforestry planting systems are tree growth, tree damage conditions, canopy conditions, and soil fertility. The stages of this study consisted of making a community forest measuring plot agroforestry planting systems, measuring indicators of community forest health agroforestry planting systems, processing and analysis, and assessing the health of community forests agroforestry planting systems. The results showed that the value of the status of public forest health conditions of agroforestry planting systems in the area of East Lampung Regency on average in good categories. This shows that community forests with agroforestry planting systems will produce healthy community forest health levels. Thus, community forests development in East Lampung Regency of Lampung Province is directed to agroforestry planting Parlindungan RajagukgukIndra Gumay FebryanoSusni HerwantiThe changes in the composition of plant species and cropping patterns have occurred in the management of Damar agroforest in Desa Kesugihan, Lampung Selatan. There are some reasons that farmers consider to make decisions in choosing plant species and cropping patterns. This study aimed to identify the reasons of farmers in the decision making of plant species selection and cropping pattern on agroforestry management of damar. Primary data collection was conducted by using an in-depth interview method on seven key informants and participant observation. The collected data is qualitative data and analyzed descriptively based on the real-life choice theory by Gladwin. The results showed that there was a change of plant species composition and cropping pattern on resin agroforestry to become cocoa agroforestry. This is affected by income, production continuity, gestation period, ease of maintenance and harvest, local knowledge and tolerance of the main plant to be planted with another crop. The dominant crop pattern was a combination of cocoa as the main plant with cengkeh, petai, tangkil, and durian. Another crop pattern was a combination between resin as the main plant species with cengkeh, durian, coconut, and petai. Comprehension and contribution from related stakeholders in the development of community forestry are fully needed to support sustainable agroforestry management. Keywords agroforestry of Damar, decision making, plant composition, plant species selection, cropping patternPayment for Environmental Services PES incentive need be applied to ensure the promotion of soil and water conservation. It’s pro conservation attitude should be soon adopted by sharecroppers in various protected areas. Likewise the sharecroppers in Protected Forest Management Unit KPHL Batutegi which their area has been degraded. Based on the paper plan of Unit Pelaksana Teknis Daerah UPTD KPHL Batutegi 2014, there were critical area of hectares and very critical of ha The value of the willingness to accept WTA for the water PES for upstream community as a provider of environmental services was necessary to be studied towards to increase willingness of people to apply soil and water conservation. The purposes of this study were to determine the water PES WTA value of Datar Lebuay Villages and establishment of influenced factors. The methods used in this research were WTA survey include gathering data as follows education, income, age, acreage land tillage, number of trees and stay duration. The data was analyzed by double linear regression to examine the effect of these variables the WTA value. Based on the analysis, it could be concluded a. The estimated water PES WTA value Datar Lebuay Villages was about averagely and the total water PES WTA value was Rp 14,033,050/year when the 3,682 trees belong to the communities, b. Factors that significantly affected the WTA value were age, stay duration and level of education. According to research results, it’s suggested to scalling up this research to another village included add socio-economic factors such as gender, ethnicity and the other social variables. Keywords Datar Lebuay Villages, payment for environmental services, Way Sekampung Sub-Watershed, WTACommunity Forest HKm is one of the schemes of Social Forestry, in which the management of its working area implements the agroforestry system. This study aims to determine the structure of income and farmer welfare, agroforestry contribution to farmer income and the factors that influence the income of farmers who do agroforestry in HKm working area. The study was conducted at the Group of HKm Bina Wana, Rigis Jaya II and Mitra Wana Lestari Sejahtera, West Lampung District. The results show that agroforestry activities contribute to farmer income of 66% and the rest from other sectors. Based on income from agroforestry activities it is known that 93% of farmers are in the prosperous category. Factors that significantly affect farmers' income are the area of cultivated land, the number of plant species that have been produced and the training followed by the farmers. In accordance with the provisions of the farmers' land area within the HKm area is no longer possible to be expanded, therefore farmers should enrich with more types of multi-use plants and follow training to increase knowledge so that land management is more optimal to increase revenue. Keywords agroforestry, income, the contribution of income, income factors, welfare levelCommunity-based forest management program provides the access for communities to participate in managing state forests. One of them is conducted through agroforestry planting pattern in village forest. The purpose of this research is to know the performance of agroforestry management on land managed by Sumur Kumbang village community in Protected Forest Management Area of Rajabasa. The data collection was got through by interview and observation; the data obtained were analyzed descriptively. The results show the performance of agroforestry management in protected forest management area of Rajabasa in moderate performance productivity 84, sustainability 167, fairness benefit 88, and efficiency 168. Such performance is influenced by forest management system, ie controlled lands and individually controlled forest products; agroforestry business orientation is commercial; and forest structure is a complex agroforestry. Therefore, the Protected Forest Management Unit of Rajabasa and related stakeholders should develop community capacity and strengthen local institutions continuously so that their forests can be managed in a fair, beneficial, and sustainable agroforestry; village forest; protected forest management unit; performance..Program pengelolaan hutan berbasis masyarakat memberikanakses bagi masyarakat untuk berpartisipasi mengelola hutan negara;salah satunya dilakukan melalui pola tanam agroforestri di hutan desa. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui performa pengelolaan agroforestri pada lahan-lahan yang dikelola oleh masyarakat Desa Sumur Kumbang di wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung KPHL Rajabasa. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan obsevasi, data yang diperoleh dianalisis secara penelitian menunjukkan performa pengelolaan agroforestri di wilayah KPHL Rajabasa dalam performa sedangproduktivitas 84;keberlanjutan 167; keadilan manfaat 88; dan efisiensi 168. Performa tersebut sangat dipengaruhi oleh sistem pengelolaan hutannya, yaitu penguasaan lahan dan hasil hutan yang dikuasai secara individu, orientasi usaha agroforestri bersifat komersial, dan struktur hutan merupakan agroforestri kompleks. Oleh karena itu, KPHL Rajabasa serta stakeholder terkait harus mengembangkan kapasitas masyarakat dan menguatkan kelembagaan lokal secara terus menerus, sehingga hutannya dapat dikelola secara adil, bermanfaat, dan kunci agroforestri; Hutan Desa; KPHL; performa. Rahmat Safe'iIndra Gumay FebryanoLina Nur AminahHutan Kemasyarakatan HKm adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan. Dengan adanya program HKm masyarakat dan pemerintah dapat bersama-sama menjaga kelestarian hutan. Masyarakat sebagai pelaku utama dalam pengelolaan HKm merasakan dampak yang besar. Dengan adanya program HKm masyarakat memiliki akses untuk dapat memanfaatkan hasil hutan non kayu yang dapat membantu masyarakat dalam meningkatkan pendapatan ekonomi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh keberadaan gapoktan terhadap peningkatan ekonomi masyarakat pengelola lahan HKm serta melihat perbedaan tutupan lahan diareal kerja gapoktan sebelum dan sesudah terbentuknya gapoktan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi partisipan, wawancara mendalam, dan analisis dokumen. Hasil penelitian menunjukan bahwa Pendapatan anggota di kedua gapoktan cenderung mengalami peningkatan. Pendapatan anggota Gapoktan Beringin Jaya mengalami peningkatan dari rata-rata Rp. menjadi rata-rata Rp. Pendapatan anggota di Gapoktan Sinar Mulya juga meningkat dari rata-rata Rp. menjadi Rp. Perubahan tutupan lahan di areal kerja kedua gapoktan mengalami perubahan yaitu semakin meluasnya areal pertanian dan lahan terbuka pada areal kerja forestry has shifted the forestry development paradigm from conventional forest management to community-based forest management. The history of community-based forest management in Java began with the Dutch colonial policy on forest production in 1873 and today it has grown widely, both within and outside forest areas. However, social forestry has not been able to overcome population pressure problems in the form of deforestation and forest degradation. Therefore, it is crucial to recognize and elevate the role of local communities in forest management. Success of social forestry can be achieved by developing cooperation through capacity building of local communities with community-based forest management. To develop community capacity, it is necessary to understand the basic concept of community capacity building in the social forestry system. A review of community capacity in social forestry is useful for developing a conceptual framework of local community capacity in the development of the social forestry system. Community capacity in the social forestry system is developed to realize forest sustainability and community welfare around the forest. Pendampinganpenyusunan pengelolaan hutan desa di wilayah ekosistem gambut, menjadi langkah awal mengintegrasikan kepentingan sosial dan lingkungan. Pada tahun 2019 HPHD Desa Telaga mendapatkan izin hak pengelolaan kawasan melalui SK perhutanan sosial yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang disusul dengan HPHD 0% found this document useful 0 votes508 views8 pagesDescriptionMembahas tentang rencana pengelolaan desa, definisi, fungsi, macam-macamnya dan aturan terkait. Selain itu juga membahas tentang integrasi dalam perencanaan pembangunan desa, serta metode © All Rights ReservedAvailable FormatsPDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?0% found this document useful 0 votes508 views8 pagesRencana Pengelolaan Hutan DesaDescriptionMembahas tentang rencana pengelolaan desa, definisi, fungsi, macam-macamnya dan aturan terkait. Selain itu juga membahas tentang integrasi dalam perencanaan pembangunan desa, serta metode pe…Full descriptionJump to Page You are on page 1of 8 You're Reading a Free Preview Pages 5 to 7 are not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime.
Rencanapengelolaan hutan desa sebagaimana dimaksud pada Pasal 17 ayat (1) disusun secara partisipatif oleh Lembaga Desa dan dapat meminta fasilitasi kepada pemerintah, pemerintah daerah atau pihak lain. Dalam hal KPH telah terbentuk dan operasional, maka penyusunan RPHD sebagaimana dimaksud pada Pasal 17 ayat (1) bersama-sama dengan KPH.Hutan Desa adminypi March 3, 2021 Kegiatan yang melibatkan LPHD, Perwakilan pemerintahan desa, tokoh masyarakt, dan tokoh pemuda telah terlaksana pada masing-masing Desa Telaga, Desa Mendawai, dan Desa Tampelas pada bulan Januari 2021. Hasil yang didapatkan pada kegiatan ini adalah draft dokumen RKT Rencana Kerja Tahunan dan RKU Rencana Kerja Umum pengelolaan hutan desa. Bagikan
Semuaagar pengelolaan hutan desa dapat dilakukan secara terorganisir sesuai dengan tujuan pengelolaan hutan lestari dan masyarakat sejahtera "Tujuan sebenarnya dari penyusunan RKT ini meningkatkan kapasitas pengurus LPHD dalam merencanakan program. Kemudian, untuk menyusun rencana strategis pengelolaan hutan desa jangka pendek (RKT) tahun 2021.
Hutan Desa yang selanjutnya disingkat HD adalah hutan negara yang berada dalam wilayah administratif desa, dikelola oleh desa, dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa. Makna politis dan ekonomis dari konsepsi HD diterjemahkan menjadi mekanisme tata wilayah dan tata kuasa. Apakah kedua mekanisme tersebut cukup untuk mewujudkan cita-cita konsepsi HD? Apakah kedua mekanisme tersebut dapat diwujudkan dalam praksis? Bagaimana caranya? HD sebagai sebuah konsep dan praktik akan menghadapi tantangan dalam mewujudkannya sebagai sebuah ideologi, politik, instrumen relasi sosial, dan teknologi. Selain memproses usulan yang sudah ada, HD memiliki peluang besar untuk menjadi skema utama dalam Perhutanan Sosial Indonesia melalui 3 cara, yaitu 1 Menawarkan kepada seluruh desa sekitar hutan untuk menjadi pengelola HD; 2 Luas areal kerja HD tidak didasarkan pada usulan, tetapi luas areal kawasan hutan yang tidak dibebani hak desa bersangkutan; 3 Membuat kebijakan baru dalam bentuk varian skema Perhutanan Sosial, berupa Hutan Desa Kemitraan. Tiga cara baru pengembangan HD merupakan inovasi rasional. Ini adalah pengembangan yang mencakup jumlah unit pengelola, luas areal, dan potensi peningkatan akses. KLHK mencatat ada desa di dalam dan di sekitar kawasan hutan KLHK, 2018. Secara ideal, semua desa tersebut merupakan pengelola HD. Jika diasumsikan 1 desa 1 HD, maka HD saat ini hanya meliputi 793 desa sekitar 3% dari total desa hutan. Terdapat desa hutan lainnya yang berpotensi sebagai pengelola. Figures - uploaded by Edwin MartinAuthor contentAll figure content in this area was uploaded by Edwin MartinContent may be subject to copyright. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free BAB III HUTAN DESA MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKALEdwin MartinA. Apa itu Hutan Desa Definisi Legal dan Ragam Konseptual Hutan Desa yang selanjutnya disingkat HD adalah hutan negara yang berada dalam wilayah administratif desa, dikelola oleh desa, dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa. Kalimat tersebut merupakan denisi legal operasional tentang HD yang tercantum dalam Peraturan Menteri Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan LHK No. 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial. Istilah HD dalam peraturan perundangan di Indonesia muncul pertama kali dalam penjelasan Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang menjelaskan bahwa hutan berdasarkan statusnya terdiri dari hutan negara dan hutan hak. Pada bagian penjelasan tertulis “.... Hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa disebut hutan desa”. Denisi legal ini mengandung tiga kata kunci, yaitu hutan negara, dikelola oleh desa, dan kesejahteraan desa. Istilah HD disebut secara spesik pertama kali dalam batang tubuh peraturan perundang-undangan yaitu Peraturan Pemerintah PP No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. HD kemudian diatur secara khusus sebagai program pemerintah melalui Peraturan Menteri Kehutanan Permenhut No. Tahun 2008 tentang HD. PP No. 6 Tahun 2007 dan Permenhut No. Tahun 2008 menambahkan frasa “...hutan negara yang belum dibebani izin/hak” dalam denisi HD. Frasa tersebut tidak disebutkan lagi dalam peraturan terakhir, yaitu Permen LHK No. 83 Tahun 2016 dan dikembalikan sesuai denisi dalam UU No. 41 BAB III HUTAN DESA MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKALBersama Membangun Perhutanan Sosial34Tahun 1999. Pada sisi lain, istilah Hutan Desa juga muncul dalam peraturan perundang-undangan lain yang tidak bersumber atau mengacu kepada UU Kehutanan, yaitu Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 64 Tahun 1999 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa. Regulasi ini menyebut HD sebagai bagian kekayaan desa yang menjadi sumber pendapatan desa. Meskipun tidak identik, istilah hutan desa yang dipakai oleh regulasi di luar KLHK memiliki semangat yang sama, yaitu untuk kesejahteraan desa. UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa memuat istilah hutan milik desa’, sebagai bagian aset desa, bagian sumber pendapatan asli desa Pasal 76. Hutan milik desa ini dapat diartikan sebagai Hutan Desa dalam pengertian UU Kehutanan maupun hutan lainnya yang dikelola oleh desa. Namun demikian, kerancuan istilah dapat saja terjadi antara HD dan hutan lainnya yang secara tradisional dikelola oleh desa tetapi di luar hutan negara. Oleh karena itu, untuk memahami istilah HD, maka harus diletakkan dalam kerangka pikir Perhutanan Sosial1 sebagai payung dari beragam istilah lainnya. Permen LHK No. 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial memuat istilah Hak Pengelolaan Hutan Desa HPHD sebagai tenurial atau posisi legal dari suatu HD. HPHD adalah hak pengelolaan pada kawasan hutan lindung atau hutan produksi yang diberikan kepada lembaga desa. HPHD diberikan oleh Menteri. Lembaga desa dalam peraturan ini adalah lembaga kemasyarakatan desa yang bertugas untuk mengelola HD. Lembaga desa dapat berbentuk koperasi desa atau badan usaha milik desa setempat Pasal 8 ayat 2. Hal lain yang penting dalam peraturan ini adalah bahwa lokasi HPHD berada dalam wilayah administrasi desa. Hal-hal tersebut merupakan atribut legal yang melekat pada HD dan menjadi pembeda dengan istilah hutan desa’ lainnya yang muncul di disebutkan secara khusus dalam UU No. 41 Tahun 1999, istilah hutan desa di Indonesia masih jarang ditemukan di dalam literatur ilmiah dan belum digunakan secara umum sebagai konsep yang hidup di masyarakat. Poenberger, Walpole, D’Silva, Lawrence, & Khare 1997 ketika membahas 1 Permen LHK No. 83 tahun 2016 mendenisikan Perhutanan Sosial sebagai sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan, dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Rakyat, Hutan Adat, dan Kemitraan Kehutanan. BAB III HUTAN DESA MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKALBersama Membangun Perhutanan Sosial35hubungan pengelolaan sumber daya oleh masyarakat dan peran pemerintah untuk kasus di Indonesia, menyebut hutan desa sebagai sebuah program penataan persil bagi hutan rakyat di suatu desa. Aliandi & Djatmiko 1998 menyebut hutan desa sebagai salah satu bagian tata guna lahan dalam monogra desa penelitian mereka, Desa Sungai Telang. Desa tersebut berbatasan langsung dengan kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat dan kawasan hutan yang dikuasai HPH. Hutan desa yang biasa disebut di dalam monogra suatu desa ini umumnya mengacu kepada areal di dalam wilayah adiministrasi desa yang dinilai berbentuk hutan, namun di luar kawasan hutan negara. Perbedaan konsepsi hutan desa ini wajar terjadi karena bagaimanapun istilah desa sesungguhnya baru digunakan di luar Jawa dan Bali setelah tahun 1980-an, sementara hutan di Pulau Jawa identik dengan hutan yang dikuasai Hutan Desa Kehadiran Negara Menata Hutan di DesaKonsep desa mulai dikenal di seluruh Indonesia sejak diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Sebagaimana termaktub dalam penjelasan UUD 1945 sebelum amandemen, “Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelesturende landchappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan sebagainya”. Desa, marga, negeri atau nagari, dan nama-nama lainnya diakui sebagai kesatuan masyarakat hukum yang diakui sejak Indonesia merdeka, sebagai sistem hukum yang diwariskan dari pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang. Dalam kasus di Provinsi Sumatera Selatan Sumsel, sebagai tindak lanjut UU No. 5 Tahun 1979, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumsel pada tahun 1983 mengeluarkan keputusan No. 142/KPTS/III/1983 yang berisi penghapusan Pemerintahan Marga. Sebanyak 188 marga yang ada saat itu dilebur menjadi desa. Sebagian besar dusun-dusun dalam pemerintahan marga diubah menjadi desa. Perubahan struktur pemerintahan ini kemudian diikuti dengan memudarnya sistem teritorial yang telah berlaku sejak lama, termasuk Hutan Marga. BAB III HUTAN DESA MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKALBersama Membangun Perhutanan Sosial36Pada masa pemerintahan marga, sejak era Kesultanan Palembang Darussalam, kolonial Belanda hingga era kemerdekaan tahun 1983, banyak marga menguasai areal tertentu yang disebut sebagai Hutan Marga. Kepala Marga atau disebut pasirah atas nama komunal marga menguasai hutan marga, sebagai wilayah yang dicadangkan untuk kepentingan perladangan berpindah anggota marga dan pengembangan dusun Prasetyo & Kumazaki, 1995; Santun, Murni, & Supriyanto, 2010; Smith & Bouvier, 1993. Kepala Dusun atau kerio bersama warga dusunnya dapat menetapkan areal di sekitar dusun sebagai hutan peramunan atau hutan ramuan, tempat untuk mencukupi kebutuhan kayu bagi warga dusun. Meskipun dikuasai secara komunal, pemanfaatan lahan hutan marga maupun kayu dari hasil hutan peramunan harus mendapatkan izin dari pasirah dan kerio. Hutan marga suatu marga2 dan hutan peramunan sebuah dusun sesungguhnya merupakan bentuk HD yang disebut pada masa sekarang, meskipun tidak berada dalam hutan negara. Ini berarti bahwa HD bukan merupakan konsepsi baru, terutama dari sisi semangat dikelola oleh desa pemerintah dan untuk kesejahteraan desa. Perbedaan konsepsi HD tradisional misalnya hutan marga dan HD kontemporer selain pada status lahan adalah bahwa HD tradisional selalu mengacu kepada areal yang merupakan formasi hutan3. Varian lain dari istilah HD adalah Hutan Nagari HN. Berbeda dengan sistem marga di Provinsi Sumsel yang pudar dan hilang sejak diterapkannya UU No. 5 Tahun 1979, nagari di Sumatera Barat Sumbar masih dipertahankan sebagai lembaga tradisional. Nagari adalah suatu kesatuan masyarakat hukum adat yang tertinggi di Sumbar, dengan batas-batas tertentu, harta kekayaan tertentu, mempunyai penguasa adat dan anggota masyarakat tertentu Ekawati & Nurrochmat, 2014. 2 Pada saat ini, diskusi tentang hutan marga dan hutan peramunan lebih sering diletakkan dalam kerangka program Hutan Adat bagian dari Perhutanan Sosial. Hutan peramunan di Desa Penyandingan, Kecamatan Semende Darat Laut, Muara Enim, Sumatera Selatan, saat ini dalam proses pengajuan pengakuan Hutan Dalam kasus 14 Hutan Desa di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, areal yang ditetapkan menjadi HD adalah kawasan hutan lindung yang formasinya telah berubah bentuk menjadi perkebunan kopi; areal yang masih berbentuk hutan tidak menjadi areal kerja HD, kecuali beberapa unit HD saja. BAB III HUTAN DESA MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKALBersama Membangun Perhutanan Sosial37Peraturan Daerah Perda Provinsi Sumbar No. 13 Tahun 1983 mengatur tentang pendirian kerapatan adat di tiap-tiap nagari yang lama, meskipun sistem nagari dihapuskan dan jorong struktur pemerintahan di bawah nagari, setingkat dusun pada sistem marga menjadi desa. Era reformasi tahun 2000-an membawa semangat masyarakat Sumbar untuk kembali kepada sistem pemerintahan nagari. Keinginan tersebut diperkuat dengan terbitnya PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa yang secara prinsip menyebut bahwa istilah desa dapat disesuaikan dengan asal-usul dan kondisi budaya masyarakat setempat. Istilah desa dikembalikan menjadi nagari. Karenanya, istilah hutan desa yang disebut dalam beragam peraturan perundang-undangan, diadaptasikan menjadi hutan nagari. Dari sisi sejarah, sebagaimana umum terjadi pada wilayah kekuasaan kolonial Belanda di luar Pulau Jawa, hutan nagari di Sumbar mengalami evolusi kelembagaan. Nursidah, Nugroho, Darusman, Rusdiana, & Rasyid 2012 menjelaskan bahwa sebelum tahun 1916, semua hutan adalah hutan ulayat. Setelah pemerintah kolonial Belanda berkuasa, status hutan dibagi menjadi dua, hutan register yang dikelola pemerintah dan hutan ulayat yang dikelola penghulu dan aturan adat. Setelah Indonesia merdeka, pembagian status hutan tersebut tetap dipertahankan sampai tahun 1983. Sejak tahun 1983, status hutan berubah menjadi hutan negara dalam fungsi hutan lindung dan hutan konservasi yang dikelola oleh pemerintah dan area penggunaan lain APL yang dikuasai oleh masyarakat dan aturan adat. Ini menyebabkan tumpang-tindih antara hutan ulayat dengan hutan negara yang berakibat pada konik antara pemerintah dengan masyarakat adat.Nursidah et al. 2012 menawarkan alternatif solusi yang dinilai paling efektif dan esien bagi masalah tumpang-tindih hutan ulayat dan hutan negara di Sumbar, yaitu dengan mempertahankan sebagai hutan negara tetapi memberikan hak pengelolaan kepada masyarakat adat. Model pengelolaan yang dianggap tepat sebagai solusi kasus tersebut adalah model pengelolaan hutan nagari HN, sebagai manajemen kolaboratif yang dapat diterima semua pihak, mengakomodasi aturan adat, dan sejalan dengan aturan pemerintah peraturan tentang hutan desa. Menurut Hamzah, Suharjito, & Istomo 2015, HN merupakan satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan, dimiliki dan BAB III HUTAN DESA MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKALBersama Membangun Perhutanan Sosial38dikuasai oleh persekutuan masyarakat nagari. Status penguasaan HN adalah hak komunal communal property yang dikelola nagari dengan tujuan untuk kesejahteraan masyarakatnya, tidak boleh dijual atau diubah kepemilikannya kepada pihak luar. Konsepsi hutan desa di Indonesia, baik sejak istilah yang dimunculkan melalui peraturan perundangan, era hutan marga, hutan nagari ulayat, atau nama lain pada masa sebelum kemerdekaan dan penerapan Tata Guna Hutan Kesepakatan TGHK tahun 1982-1984, dan istilah yang hidup di desa untuk menunjukkan areal berhutan di dalam wilayah desa sesungguhnya mengandung dua makna yaitu teritorialitas negara4 dan upaya negara memastikan penyediaan sumber daya untuk kesejahteraan masyarakatnya secara berkesinambungan. Jika dirangkum, konsepsi HD mengandung makna politis5 dan ekonomis. Teritorialitas adalah usaha dari seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi atau mengontrol orang, fenomena, dan hubungan keduanya dengan membatasi dan menegaskan kontrol atas sebuah area geogras Sack, 1986 dalam Vandergeest & Peluso, 1995. Proses teritorialitas disebut teritorialisasi, berupa memasukkan atau mengeluarkan orang-orang dalam batas geogras tertentu dan tentang mengontrol apa yang dilakukan orang-orang dan akses mereka terhadap sumber daya alam dalam geogras itu Menzies, 1994 dalam Peluso, 2005. Fakta sejarah menunjukkan bahwa teritorialisasi negara terhadap sumber daya hutan seringkali mendapat resistensi dan perlawanan ketika berhadapan dengan masyarakat lokal, baik di Indonesia Maring, 2008; Rachman, 2012; Shohibuddin & Adiwibowo, 2018 maupun global Isager & Ivarsson, 2002; Lestrelin, 2011, terutama jika bertentangan dengan teritorialitas lokal yang telah ada sebagaimana dibahas oleh Nursidah et al. 2012. 4 Desa, marga, nagari, atau apapun nama yang dikenal di nusantara sesungguhnya merupakan representasi negara sebagai unit pemerintahan terdepan yang menguasai dan mengatur sumber daya alam dan tunduk kepada unit pemerintahan di atasnya. 5 Peluso & Vandergeest 2001 dan Elmhirst 2011 mnyebut konsep political forest’ untuk menyatakan sebuah konstelasi tertentu dari kuasa penataan teritorial oleh negara, terlihat dari gagasan, praktik, dan kelembagaan yang menempatkan batasan-batasan ruang bagi akses dan pemanfaatan lahan oleh masyarakat, menyediakan pengakuan dan legitimasi bagi orang tertentu, sementara juga mengeluarkan dan melakukan kriminalisasi bagi pelanggar. Karenanya, secara konseptual sesungguhnya HD tergolong hutan politik. BAB III HUTAN DESA MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKALBersama Membangun Perhutanan Sosial39Dalam sejarah, terutama pada masa otoritas kolonial Belanda dan pemerintah Indonesia sampai dengan tahun 1979, teritorialisasi negara terhadap sumber daya hutan lokal tidak mengalami masalah berarti karena masyarakat lokal mengakomodasi konsep teritorial negara untuk kepentingan klaim lokal dan negara tidak mengabaikan konsep dan aturan lokal secara mendasar Wadley, 2003. Proses saling menyesuaikan tersebut terjadi jika kapabilitas negara untuk mengatur dan aturan adat yang berlaku dalam posisi sama kuat McCarthy, 2005. Secara politik, elit lokal biasanya melalui kepala desa melakukan klaim atau upaya teritorialitas terhadap unit lahan yang dianggap bernilai, Peluso 2005 menyebutnya sebagai teritorialisasi lokal. Dalam sudut pandang positif, teritorialisasi lokal merupakan salah satu elemen di dalam konsepsi HD. Menurut Permen LHK No. 86 Tahun 2016, permohonan HPHD diajukan oleh satu atau beberapa lembaga desa dan diketahui oleh satu atau beberapa kepala desa yang bersangkutan. Lokasi HPHD yang dimohonkan berada dalam wilayah administrasi desa. Secara ideal, pemilihan lokasi dan lembaga pengusul HD oleh masyarakat lokal merupakan teritorialisasi lokal. HPHD adalah tenure, hak sebuah lembaga desa untuk memanfaatkan sumber daya di areal kerja HD. Proses pengajuan hingga terbitnya Surat Keputusan SK HPHD seharusnya merupakan teritorialisasi lokal, sebuah langkah politik lokal. Sampai di sini, HD hanya diartikan sebagai “hutan negara yang dikelola oleh desa”. Elemen penting “kesejahteraan desa” seharusnya merupakan proses lanjutan yang berkesinambungan, sebuah langkah ekonomi lokal-global. Langkah ekonomi bertujuan untuk memastikan bahwa lembaga desa dan perangkat-perangkat penyusunannya memiliki kemampuan yang mutakhir dan adaptif dalam memanfaatkan sumber daya HD dan turunannya. Kemampuan menghasilkan keuntungan dari sesuatu disebut oleh Ribot & Peluso 2003 sebagai akses dalam teori yang dikenal dengan theory of access. Konsep akses ditempatkan pada analisis siapa sebenarnya yang beruntung dari sesuatu dan melalui apa proses yang mereka lakukan. Bagi Ribot & Peluso 2003, kemampuan sama dengan kekuasaan power. Kekuasaan dapat bersumber dari teknologi, kapital, pasar, pengetahuan, kewenangan, identitas BAB III HUTAN DESA MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKALBersama Membangun Perhutanan Sosial40sosial, dan relasi sosial. Jika kemampuan ini dikuasai atau dipertahankan untuk ditingkatkan oleh aktor-aktor HD maka pengelolaan HD oleh mereka akan dapat mewujudkan kesejahteraan politis dan ekonomis dari konsepsi HD diterjemahkan menjadi mekanisme tata wilayah dan tata kuasa. Apakah kedua mekanisme tersebut cukup untuk mewujudkan cita-cita konsepsi HD? Apakah kedua mekanisme tersebut dapat diwujudkan dalam praksis? Bagaimana caranya? HD sebagai sebuah konsep dan praktik akan menghadapi tantangan dalam mewujudkannya sebagai sebuah ideologi, politik, instrumen relasi sosial, dan teknologi. Dalam tulisan ini, istilah HD selalu mengacu pada kata kunci penting yang tidak terpisahkan, yaitu hutan negara, dikelola oleh desa, dan untuk kesejahteraan Dinamika Aturan Pendukung dan Latar Belakang Hutan DesaSejak pertama kali diundangkan pada tahun 2008, peraturan tentang HD telah mengalami lima kali perubahan dan penyempurnaan. Ini menunjukkan semangat dan kesungguhan pemerintah dan para pihak dalam mendukung terwujudnya HD. Permenhut No. P. 49 Tahun 2008 diubah menjadi Permenhut No. Tahun 2010, kemudian diganti menjadi Permenhut No. Tahun 2011, selanjutnya berubah menjadi Permen Tahun 2014, semuanya tentang HD. Perubahan aturan terakhir adalah keluarnya Permen LHK No. Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial. Aturan terakhir ini mencakup semua skema Perhutanan Sosial, termasuk HD. Inti dari proses perubahan tersebut adalah upaya untuk percepatan dan penyederhanaan dalam proses pengajuan/permohonan izin HPHD pada taraf birokrasi dan kesesuaian dengan fakta lapangan. Jika sebelumnya memerlukan waktu hingga paling lama 180 hari, berubah menjadi hanya paling lama 34 hari sampai terbit izin P 89/2014 tentang Hutan Desa dan P 83/2016 tentang Perhutanan Sosial.Permenhut No. Tahun 2008 memuat aturan-aturan pengusulan areal kerja HD dan hak pengelolaan HD yang jika dicermati cukup rumit dan tanpa kejelasan batas waktu. Permen Tahun 2010 dibuat untuk BAB III HUTAN DESA MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKALBersama Membangun Perhutanan Sosial41menyederhanakan prosedur permohonan usulan dan verikasi dalam rangka penetapan areal kerja PAK HD. Permen Tahun 2011 dirancang dalam rangka menjamin kepastian calon pemegang izin pada areal kerja HD yang telah ditetapkan oleh Menteri sehingga perlu mencantumkan nama-nama pemohon yang diketahui oleh camat dan/atau kepala desa setempat. Permen Tahun 2014 disusun untuk memberikan jaminan kepastian hukum dalam hak pengelolaan HD. Kerumitan yang muncul dalam periode 2008 hingga 2014 ini terjadi karena aturan-aturan HD tersebut memuat 2 prosedur berkelanjutan yang dalam prosesnya terpisah secara entitas, yaitu penetapan areal kerja oleh Menteri dan penerbitan HPHD oleh Gubernur/ Desa di Indonesia, jika dipelajari lebih dalam berdasarkan proses pengusulan untuk mendapatkan tenurial, dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu HD periode awal 2008-2014 dan HD periode lanjutan 2015-sekarang. HD periode awal, berdasarkan sejarah inisiatif pengusulan, dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu HD inisiatif LSM/NGO, HD inisiatif UPT Kementerian LHK dalam banyak kasus yaitu Balai Pengelolaan DAS, HD inisiatif Dinas Kehutanan Kabupaten, dan HD inisiatif kelompok masyarakat. HD periode lanjutan tidak lagi melibatkan peran UPT Kementerian Kehutanan sekarang KLHK, namun selain inisiatif-inisiatif lembaga yang telah disebutkan dalam periode awal, juga menunjukkan peran besar lembaga Kesatuan Pemangkuan Hutan KPH. Inisiatif berarti siapa yang memberi gagasan kepada kelompok masyarakat dan mengawal proses. Apakah keragaman inisiatif ini mempengaruhi kinerja HD?Dalam masa periode awal 2008-2014, capaian kerja program HD tidak seluas capaian kerja program HKm dan HTR karena proses yang dinilai lebih rumit. Pendampingan sangat menentukan cepat atau lambatnya proses tersebut, terutama pendampingan oleh LSM. HD pertama di Indonesia yaitu di Desa Lubuk Beringin, Kecamatan Bathin III Ulu, Kabupaten Bungo, Jambi. HD ini mendapatkan SK PAK dari Menteri dan HPHD dari Gubernur Jambi pada tahun yang sama, 2009. Hutan dan masyarakat di Desa Lubuk Beringin difasilitasi dan didampingi oleh Warsi, salah satu LSM di Jambi, dalam program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat PHBM. BAB III HUTAN DESA MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKALBersama Membangun Perhutanan Sosial42Desa Labbo, Desa Pattaneteang, dan Desa Campaga di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan menyusul memperoleh penetapan areal kerja dan HPHD pada tahun 2010, sebagai HD kedua di Indonesia. Tiga HD tersebut difasilitasi dan didampingi oleh RECOFTC, Universitas Hasanuddin UNHAS, dan pemerintah daerah pemda sejak tahun 2005 Nurhaedah & Hapsari, 2014 sehingga memudahkan proses lahirnya HD. Hampir berbarengan dengan tiga HD di Bantaeng tersebut, HD ketiga di Indonesia muncul dari Desa Muara Merang, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumsel. Salah satu LSM di Sumsel, yaitu Wahana Bumi Hijau WBH memfasilitasi dan mendampingi Desa Muara Merang sejak tahun 2001. Hutan Desa periode awal merupakan tonggak dan pelajaran bagi perkembangan HD lanjutan, terutama dalam proses pengusulan dan dukungan situasi sosial politik. Tabel 2 menunjukkan perkembangan HD dalam periode awal, tahun 2009-2014. Sejak ditetapkannya HD pertama di Desa Lubuk Beringin, Kabupaten Bungo, Jambi pada tahun 2009, HD diminati oleh para pihak, LSM, Pemda, dan UPT Kementerian Kehutanan sebagai skema dalam PHBM. Selama periode ini, Menteri Kehutanan menerbitkan 224 SK PAK sedangkan SK HPHD yang dikeluarkan oleh Gubernur/Bupati sebanyak 37 unit SK. Tabel 2 Perkembangan Hutan Desa dalam periode awal 2009–2014Tahun SK Penetapan Areal Kerja unit SK HPHD unit2009 1 12010 12 42011 40 42012 11 22013 45 262014 115 0Keterangan Data disiapkan oleh Sub Direktorat Penyiapan Hutan Desa KLHK, diolah masalah inisiatif dan pendampingan pengusulan, pembahasan tentang HD menarik untuk dicermati jika dilihat dari sudut pandang motivasi inisiator dan kelompok masyarakat pengusul. Dalam periode awal, semangat para pihak untuk mengajukan program HD meliputi paling tidak dua latar belakang atau motivasi utama6, yaitu semangat keadilan dan penyelesaian 6 Penulis melakukan analisis isi content analysis terhadap beragam informasi HD yang tersedia di internet dalam periode berita 2009 sampai dengan 2019. BAB III HUTAN DESA MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKALBersama Membangun Perhutanan Sosial43konik. Semangat keadilan berupa narasi bahwa desa dan masyarakatnya harus mendapatkan akses legal untuk mengelola hutan yang berada di dalam wilayah administrasi desa, sebagai anti tesis pengelolaan hutan oleh negara yang dianggap menegaskan otoritas desa. Semangat penyelesaian konik adalah narasi untuk menawarkan alternatif pengelolaan areal kawasan hutan yang terlanjur mengalami deforestasi dan degradasi, dirambah masyarakat untuk kepentingan pertanian dan ekstraksi kayu. HD dengan semangat keadilan, biasanya -tetapi tidak selalu- difasilitasi dan didampingi oleh LSM atau lembaga perguruan tinggi. HD jenis ini dapat dikelompokkan lagi berdasarkan situasi modal sosial dan budaya masyarakat desa, yaitu 1 “tinggi” misalnya untuk kasus HD Namo di Palu, Sulawesi Tengah; HD Labbu di Bantaeng, Sulawesi Selatan; HD Rio Kemunyang, Desa Durian Rambun, Jambi; HN Simancung di Sumbar; dan 2 “rendah” misalnya untuk kasus HD Muara Merang dan Kepayang di Muba, Sumsel; HD Segamai dan Serapung di Riau. HD dengan semangat penyelesaian konik, biasanya -meskipun dalam praktiknya bercampur baur- difasilitasi oleh Dinas Kehutanan Kabupaten dan UPT Kementerian Kehutanan. HD kelompok ini dapat dibagi menjadi dua berdasarkan taraf interaksi masyarakat dengan lahan kawasan hutan, yaitu pertanian tradisional dan pertanian ekspansif. HD dengan areal kerja pertanian tradisional misalnya terjadi pada beberapa HD eks marga Semende di Kabupaten Muara Enim, Sumsel. HD pertanian ekspansif misalnya pada banyak kasus HD di Provinsi Lampung dan Bengkulu7. Pemerintah mengevaluasi kelambanan proses penerbitan hak pengelolaan HD dan mengupayakan penyederhanaan proses melalui Permen LHK No. 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial. Selain tidak dikenal lagi pembagian penerbitan areal kerja oleh Menteri dan HPHD oleh kepala daerah, aturan Perhutanan Sosial ini memuat ketentuan peralihan, salah satunya bahwa proses penerbitan HPHD yang sedang diusulkan kepada kepala daerah untuk periode awal 2010-2014 maka Menteri menerbitkan HPHD. Proses penerbitan izin dan hak Perhutanan Sosial makin dimudahkan dengan inovasi pemerintah yang mendorong kelahiran Kelompok Kerja Perhutanan Sosial Pokja PS di tiap provinsi sebagai fasilitator dan mekanisme jemput Paragraf ini ditulis berdasarkan analisis isi berita, wawancara penulis dengan beberapa ketua LPHD, dan catatan penelitian Hutan Desa yang penulis lakukan dalam periode 2014-2019. BAB III HUTAN DESA MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKALBersama Membangun Perhutanan Sosial44D. Capaian HD Saat Ini Capaian akses kelola Perhutanan Sosial saat ini tersaji dan dapat dilihat melalui situs Data terakhir yang ditampilkan adalah per 21 Oktober 2019. Statistik ini meliputi semua skema Perhutanan Sosial HD, HKm, HTR, Kemitraan, dan HA. Akses kelola Perhutanan Sosial mencapai luasan ha dengan jumlah SK sebanyak unit yang meliputi penerima manfaat KK Gambar 8. Meskipun belum mencapai target yang ditetapkan dalam RPJMN 2014-2019 yakni seluas 12,7 juta ha, capaian kerja 5 tahun terakhir sudah 6 kali lipat lebih tinggi daripada capaian Perhutanan Sosial periode awal yang tidak sampai ha. Khusus HD, capaian akses kelola sampai Oktober 2019 adalah seluas ha dengan jumlah SK sebanyak 793 unit, suatu capaian terluas dan terbanyak KK penerima manfaat dibandingkan skema Perhutanan Sosial lainnya, meskipun dari sisi jumlah unit SK masih lebih rendah dibandingkan skema HKm dan HTR. Gambar 8 Capaian akses kelola Perhutanan Sosial per 21 Oktober 2019. BAB III HUTAN DESA MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKALBersama Membangun Perhutanan Sosial45Gambar 9 Capaian Hutan Desa HPHD dalam periode akses kelola HD pada periode lanjutan 2015-2019 meningkat hampir 20 kali lipat dibanding periode awal 2009-2014. Selama masa 4 tahun pertama periode lanjutan 2015-2019, capaian akses kelola HD selalu paling tinggi dibandingkan skema Perhutanan Sosial lainnya. Ini menunjukkan tingginya animo dan harapan para pihak terhadap skema HD. Capaian ini melonjak pesat pada tahun 2017 dan mencapai puncaknya pada tahun 2018 Gambar 9 sebagai hasil dari kemudahan proses dan fasilitasi tindak lanjut Permen LHK No. 83 Tahun 2016. Di balik capaian yang fenomenal tersebut, tercatat sebanyak 158 unit usulan yang ditolak oleh KLHK untuk diproses. Alasan penolakan adalah tumpang-tindih izin atau permohonan pada wilayah blok KPH yang tidak diperuntukkan sebagai HD Ardiputri, 2019; komunikasi pribadi. E. Implementasi HD dan Hambatan di LapanganImplementasi HD merupakan pembahasan atas pertanyaan apakah lembaga desa memiliki kemampuan untuk mencapai tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan melestarikan hutan setelah mendapatkan hak akses pengelolaan HD? HD telah memasuki satu dekade meskipun kebanyakan BAB III HUTAN DESA MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKALBersama Membangun Perhutanan Sosial46unit baru saja lahir. Laporan beragam pihak dan berdasarkan catatan etnogras penulis, implementasi HD dapat dikelompokkan menjadi empat kondisi faktual, yakni progresif, diam aktif, diam pasif, dan kontraproduktif. Secara umum, evaluasi keberhasilan Perhutanan Sosial atau PHBM selalu bersandar pada dua indikator utama, yaitu peningkatan tutupan hutan dan kesejahteraan masyarakat Edmunds & Wollenberg, 2003; Martin, Herdiana, Nurlia, & Premono, 2020; Maryudi et al., 2012. Untuk mencapai dua manfaat tersebut, berdasarkan analisis kunci-kunci keberhasilan Perhutanan Sosial secara global, dibutuhkan suasana pemungkin yang meliputi tiga faktor, yaitu kuasa/kontrol, komoditi, dan kultur K3.1. HD ProgresifHD progresif memiliki ciri-ciri dari sisi kuasa/kontrol yakni kejelasan batas-batas tenurial secara sik batas luar, zonasi wilayah, pengakuan hak individual dan hak kolektif, lembaga pengelola mengendalikan keseluruhan areal kerja HD informasi, aktivitas, transaksi; lembaga pengelola terorganisir dan memiliki hubungan baik ke dalam masyarakat lokal dan pemerintah desa dan keluar lembaga luar yang ditandai dengan banyaknya kerja sama dengan pihak luar; pemerintah desa secara aktif mendukung perkembangan HD, misalnya dengan mengalokasikan Dana Desa dan semacamnya untuk kepentingan kemajuan HD. Dari sisi komoditi, HD progresif ditandai dengan adanya rencana bisnis yang memberikan nilai tambah bagi beragam komoditas yang telah ditetapkan, baik dalam keberlanjutan kontinuitas, peningkatan produktivitas kuantitas, peningkatan mutu produksi dan pengolahan kualitas, dan upaya branding. Dari sisi kultural terlihat dari hubungan saling ketergantungan antara sumber naah utama atau kebutuhan pokok sehari-hari dengan eksistensi hutan, masyarakat memiliki tradisi kerja kolektif terkait sumber daya, dan masyarakat menerapkan pluralisme hukum terkait pelanggaran aturan, di mana secara formal hukum negara lebih mengemuka. Meskipun belum sempurna, HD Sungai Beras di Tanjabtim, Jambi, HN Taram di Kabupaten Limapuluh Kota, Sumbar, HD Bentang Pesisir Padang Tikar di Kubu Raya, dan HD Laman Satong di Ketapang Kalbar adalah contoh HD progresif. BAB III HUTAN DESA MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKALBersama Membangun Perhutanan Sosial472. HD Diam AktifHD diam aktif adalah HD yang telah berupaya meningkatkan sisi kuasa, komoditi, dan kulturnya, namun belum mampu melaksanakan secara keseluruhan karena kendala inisiatif, dana, dan belum menjadi prioritas utama pemerintah desa. HD ini memiliki lembaga pengelola yang aktif sehingga sering mendapatkan alokasi kegiatan dan fasilitasi dari pemerintah/KPH. HD tergolong diam aktif misalnya HD Sukaraja dan HD Padan di Kabupaten Lampung Selatan, Lampung, HD Taba Padang di Kepahiang Bengkulu, dan HD Tanjung Agung di Muara Enim, HD Diam PasifHD disebut diam pasif jika setelah mendapatkan SK HPHD, tidak mengalami perubahan sama sekali, baik dari sisi kuasa, komoditi, maupun kultur. Lembaga pengelola HD ini biasanya dibentuk hanya untuk memenuhi kelengkapan administrasi pengusulan. Pengurus lembaga dan pemerintah desa telah merasa nyaman dengan situasi yang ada dan meragukan kemanfaatan implementasi HD. 4. HD KontraproduktifHD tergolong kontraproduktif jika dalam implementasinya justru memburuk dalam hal kuasa, komoditi, dan kultur; areal kerja tidak terkendali dan mengalami deforestasi serta alih fungsi, dan terjadi konik internal antara lembaga pengelola dan pemerintah desa. HPHD ditafsirkan sebagai kebebasan untuk berbuat sekehendak, bukan mengelola hutan. BAB III HUTAN DESA MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKALBersama Membangun Perhutanan Sosial48F. Potensi Pengembangan HD Catatan Kritis untuk Perbaikan KebijakanPeriodesasi pengembangan HD akan memasuki fase pematangan pada kurun waktu 2020-2024. Pada tahap ini, selain masih bersifat ekstensif dalam hal memperbanyak unit HPHD di seluruh Indonesia, pengembangan HD harus memasuki tahap percepatan menuju unit-unit hutan lestari yang dikelola oleh beragam lembaga desa. SK HPHD adalah hak untuk memanfaatkan kawasan hutan, maka proses selanjutnya adalah memastikan peningkatan kemampuan untuk memperoleh manfaat dari pengelolaan kawasan hutan secara lestari. Data dan informasi yang tersaji melalui situs KLHK memperlihatkan bahwa per Desember 2019 terdapat 613 usulan HD yang sedang diproses. Saat ini, skema Perhutanan Sosial yang paling banyak diusulkan adalah Kemitraan Kehutanan, yaitu sejumlah usulan. Ini merupakan peluang ekstensikasi HD. Selain memproses usulan yang sudah ada, HD memiliki peluang besar untuk menjadi skema utama dalam Perhutanan Sosial Indonesia melalui 3 cara, yaitu 1 Menawarkan kepada seluruh desa sekitar hutan untuk menjadi pengelola HD; 2 Luas areal kerja HD tidak didasarkan pada usulan, tetapi luas areal kawasan hutan yang tidak dibebani hak desa bersangkutan; 3 Membuat kebijakan baru dalam bentuk varian skema Perhutanan Sosial, berupa Hutan Desa cara baru pengembangan HD merupakan inovasi rasional. Ini adalah pengembangan yang mencakup jumlah unit pengelola, luas areal, dan potensi peningkatan akses. KLHK mencatat ada desa di dalam dan di sekitar kawasan hutan KLHK, 2018. Secara ideal, semua desa tersebut merupakan pengelola HD. Jika diasumsikan 1 desa 1 HD, maka HD saat ini hanya meliputi 793 desa sekitar 3% dari total desa hutan. Terdapat desa hutan lainnya yang berpotensi sebagai pengelola. Dari sisi luas areal, berdasarkan catatan penulis, areal kerja HD yang tercantum di dalam SK HPHD tidak mencakup semua areal kawasan hutan misalnya hutan lindung yang berada dalam wilayah administrasi desa. Dalam beberapa BAB III HUTAN DESA MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKALBersama Membangun Perhutanan Sosial49kasus, misalnya HD Tanjung Agung dan HD Muara Danau di Semende, Muara Enim, Sumsel, areal kerja HD hanya meliputi sebagian kawasan hutan yang telah mengalami deforestasi. Di sisi lain, LPHD diminta untuk bertanggung jawab jika terjadi penebangan kayu dan perambahan di seluruh areal kawasan dalam wilayah desa. Meskipun tata batas administrasi desa di luar Pulau Jawa belum terlalu baik, areal kerja HD sebaiknya tetap meliputi keseluruhan kawasan hutan produksi atau lindung yang berada di dalam desa. Jika arahan ini diikuti, bisa jadi capaian luas HD melonjak peningkatan akses HD dari sisi capaian luas dan implementasi akan muncul jika dilakukan pembaharuan kebijakan Perhutanan Sosial yang saat ini tidak memungkinkan akses HD bagi kawasan yang telah dibebani hak. Kebijakan Perhutanan Sosial memberikan ruang akses melalui skema kemitraan, biasanya antara kelompok masyarakat tertentu dengan pemegang hak atau pengelola kawasan KPH/Perhutani/TN. Dalam banyak situasi, misalnya keadaan konik, otoritas pemerintah desa lebih efektif untuk turut berperan sebagai pengelola kawasan hutan yang dibebani hak atau kawasan tertentu KPH. Dari sisi keadilan, desa-desa tertentu di sekitar kawasan hutan yang dibebani hak misalnya IUP-HPHTI, layak untuk diberikan akses mengelola kawasan hutan yang termasuk wilayah administrasi desanya, sebagai sumber pendapatan desa dan kesejahteraan masyarakat. Dalam skema ini, pengelolaan hutan oleh lembaga desa dapat lebih implementatif karena bermitra dengan lembaga profesional. Skema ini dapat disebut sebagai HD menjadi aset desa maka hubungan kinerja implementasi HD dan kesejahteraan dapat bersifat linier. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Kemendes PDTT telah menetapkan Permen No. 11 Tahun 2019 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa untuk Tahun 2020, di mana HD menjadi salah unsur prioritas untuk didanai. Kebijakan lanjutan adalah mendorong inisiatif pemerintah desa untuk meyakini bahwa HD adalah sumber pendapatan berkelanjutan bagi desa. Jika mengacu kepada teritorialisasi negara maka HD sebaiknya menjadi program utama dalam tata praja Kemendagri, didukung Kemendes PDTT dari segi pendanaan dan inovasi desa dan KLHK dari sisi teknis kelola hutan. BAB III HUTAN DESA MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKALBersama Membangun Perhutanan Sosial50Kategorisasi atau pemisahan kelas implementasi HD perlu dilakukan untuk memudahkan memahami sehingga setiap HD dibina dan didampingi dengan porsi dan cara berbeda, termasuk perlakuan kebijakan. Pendampingan oleh LSM dan KPH sebaiknya diprioritaskan kepada HPHD dalam kelas bawah agar terjadi perubahan dan naik kelas. Kepada pemegang HPHD kelas menengah ke atas sebaiknya diarahkan untuk bermitra langsung dengan pelaku bukanlah sebuah entitas yang berdiri sendiri tetapi harus menjadi bagian integral manajemen lanskap desa sebagai ekosistem hutan sesuai fungsinya. Ini membutuhkan pendampingan trans-disiplin, berjenjang, dan berkelanjutan. Jika terjadi, HD merupakan wujud kehadiran negara dalam tata kelola hutan lokal. BAB III HUTAN DESA MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKALBersama Membangun Perhutanan Sosial51Daftar PustakaAliandi, A., & Djatmiko, W. 1998. Hasil hutan non-kayu ekstraktif di Desa Sungai Telang, Rantau Pandan, Jambi Working Paper. Bogor D., & Wollenberg, E. Eds.. 2003. Local forest management the impacts of devolution policies. London S., & Nurrochmat, D. 2014. Hubungan modal sosial dengan pemanfaatan dan kelestarian hutan lindung. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 111, 40– Suharjito, D., & Istomo. 2015. Efektivitas kelembagaan lokal dalam pengelolaan sumber daya hutan pada masyarakat Nagari Simanau, Kabupaten Solok. Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan, 22, 117– L., & Ivarsson, S. 2002. Contesting landscapes in ailand tree ordination as counter-territorialization. Critical Asian Studies, 343, 395–417. KLHK. 2018. Status Hutan & kehutanan Indonesia 2018. Jakarta Kementerian Lingkungan Hidup dan G. 2011. Rethinking state-ethnic minority relations in Laos Internal resettlement, land reform and counter-territorialization. Political Geography, 306, 311– P. 2008. Strategi perlawanan berkedok kolaborasi, sebuah tinjauan antropologi kasus penguasaan hutan. Partner, 172, 196– E., Herdiana, N., Nurlia, A., & Premono, B. T. 2020. Kebun-Ghepang ecological and institutional reference for social forestry at highlands of Sumatra. IOP Conference Series Earth and Environmental Science in progress. IOP A., Devkota, R. R., Schusser, C., Yufanyi, C., Salla, M., Aurenhammer, H., … & Krott, M. 2012. Back to basics considerations in evaluating the outcomes of community forestry. Forest Policy and Economics, 141, 1–5. BAB III HUTAN DESA MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKALBersama Membangun Perhutanan Sosial52McCarthy, J. F. 2005. Between adat and state institutional arrangements on Sumatra’s forest frontier. Human Ecology, 331, 57– M., & Hapsari, E. 2014. Hutan Desa Kabupaten Bantaeng dan manfaatnya bagi masyarakat. Info Teknis Eboni, 111, 27– Nugroho, B., Darusman, D., Rusdiana, O., & Rasyid, Y. 2012. Institutional development to build a succesfull local collective action in forest management from Arau Watershed Unit Management Area, West Sumatera. Jurnal Manajemen Hutan Tropika, 18, 18– N. L. 2005. Seeing property in land use local territorializations in West Kalimantan, Indonesia. Geogrask Tidsskri, 1051, 1– M., Walpole, P., D’Silva, E., Lawrence, K., & Khare, A. 1997. Linking government with community resource management a report of the 5th Asia Forest Network Meeting, L. B., & Kumazaki, M. 1995. Land-use changes and their causes in the tropics a case study in South Sumatra, Indonesia in 1969-1988. Tropics, 51/2, 115– N. F. 2012. Land reform dari masa ke masa. Yogyakarta Tanah Air J. C., & Peluso, N. L. 2003. A theory of access. Rural Sociology, 682, 153– D., Murni, & Supriyanto. 2010. Iliran dan Uluan dinamika dan dikotomi sejarah kultural Palembang. Yogyakarta Eja M., & Adiwibowo, S. 2018. Meninjau-ulang pengelolaan kolaboratif sumber daya alam studi kritis atas kesepakatan konservasi berbasis adat di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah pp 393-443. In Reforma Agraria Sektor Kehutanan Ragam Masalah dan Tantangan. Bogor IPB G., & Bouvier, H. 1993. Spontaneous migrant strategies and settlement processes in the plains and mountains p 373. In M. Charras & M. Pain Eds., Spontaneous Settlements in Indonesia. Jakarta Departemen transmigrasi dan Orstom. BAB III HUTAN DESA MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKALBersama Membangun Perhutanan Sosial53Vandergeest, P., & Peluso, N. L. 1995. Territorialization and state power in ailand. eory and Society, 243, 385– R. L. 2003. Lines in the forest internal territorialization and local accommodation in West Kalimantan, Indonesia 1865-1979. South East Asia Research, 111, 91–112. BERSAMA MEMBANGUNEditorSulistya Ekawati - Sri Suharti - Syaiful AnwarPERHUTANANSOSIALISBN 978-623-256-166-3KehutananBERSAMA MEMBANGUN PERHUTANAN SOSIALBERSAMA MEMBANGUNPERHUTANANSOSIALPelaku Perhutanan Sosial adalah masyarakat yang nggal di sekitar atau di dalam kawasan hutan negara, yang keabsahannya dibukkan melalui Kartu Tanda Penduduk, riwayat penggarapan kawasan hutan, serta akvitas masyarakat yang dapat berpengaruh terhadap ekosistem hutan. Kelompok masyarakat inilah yang berpeluang memperoleh akses legal untuk mengelola masyarakat dalam pengelolaan hutan adalah keniscayaan yang harus dijalankan pemerintah karena beberapa alasan. Pertama, di dalam dan sekitar kawasan ada + jiwa, jumlah desa di dalam hutan + desa. Kedua, sebagian besar masyarakat sekitar hutan menggantungkan hidupnya dari hasil hutan. Kega, sebagian besar luas wilayah Indonesia 63,04% berupa hutan dengan jumlah penduduk yang terus ini menguraikan bagaimana masing-masing skema Perhutanan Sosial berproses untuk mewujudkan tujuan pengelolaan hutan masyarakat sejahtera dan hutan terjaga. Tidak dapat dipungkiri, seap skema mempunyai tantangan dan hambatan, tetapi dengan semangat bersama membangun Perhutanan Sosial, buku ini memberikan catatan kris sebagai rekomendasi perbaikan ke Penelian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim BERSAMA MEMBANGUNPERHUTANANSOSIAL Penerbit IPB PressJalan Taman Kencana No. 3,Kota Bogor - Ekawati Sri Suharti Syaiful AnwarBERSAMA MEMBANGUNPERHUTANANSOSIAL Judul BukuBersama Membangun Perhutanan SosialEditorSulistya Ekawati Sri Suharti Syaiful AnwarCopy EditorDana ApriyantoHarionoDiny DarmasihDesain Sampul & Penata IsiAlfyandi Jumlah Halaman 122 + 14 halaman romawiEdisi/CetakanCetakan 1, Juli 2020PT Penerbit IPB PressAnggota IKAPIJalan Taman Kencana No. 3, Bogor 16128Telp. 0251 - 8355 158 E-mail 978-623-256-166-3Dicetak oleh Percetakan IPB, Bogor - IndonesiaIsi di Luar Tanggung Jawab Percetakan© 2020, HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANGDilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit Forestry is not about trees, it is about people. And it is about trees only insofar as trees can serve the needs of peopleWestoby, 1967 KATA PENGANTARPemerintah telah memberikan hak kelola kepada masyarakat untuk terlibat dalam pengelolaan hutan melalui program Perhutanan Sosial. Sebenarnya sudah diinisiasi sejak lama, tetapi baru pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo program ini mengalami dinamika yang cukup signikan. Program Perhutanan Sosial merupakan wujud keberpihakan pemerintah kepada masyarakat Perhutanan Sosial adalah masyarakat yang tinggal di sekitar atau di dalam kawasan hutan negara, yang keabsahannya dibuktikan melalui Kartu Tanda Penduduk, riwayat penggarapan kawasan hutan, serta aktivitas masyarakat yang dapat berpengaruh terhadap ekosistem hutan. Kelompok masyarakat inilah yang berpeluang memperoleh akses legal untuk mengelola hutan. Program Perhutanan Sosial diimplementasikan melalui lima skema, yaitu Hutan Kemasyarakatan HKm, Hutan Desa HD, Hutan Tanaman Rakyat HTR, Hutan Adat HA, dan Kemitraan. Masing-masing skema mempunyai karakteristik yang berbeda dan masyarakat dipersilakan memilih, sesuai dengan potensi sumber daya yang dimiliki, tipologi biosik kawasan yang akan dimohonkan, serta tujuan izin akses untuk mengelola hutan. Sepanjang perjalanannya, program Perhutanan Sosial menemui banyak hambatan di lapangan, tetapi tidak sedikit pula cerita sukses yang ini bercerita tentang implementasi kelima skema Perhutanan Sosial yang berisi progres kemajuan, permasalahan yang dihadapi di lapangan, serta rekomendasi kebijakan ke depan untuk memperbaiki kinerja dan capaian keberhasilan implementasi program tersebut. Sudah sewajarnya semua pihak berkolaborasi mendukung program ini dengan harapan konik kehutanan berkurang secara signikan, masyarakat meningkat kesejahteraannya, serta kelestarian hutan tetap terjaga. “Bersama Membangun Perhutanan Sosial” adalah wujud sumbang-pikir para penulis untuk memajukan program Perhutanan Sosial. Bersama Membangun Perhutanan SosialviiiUcapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam pengumpulan data di lapangan. Kami berharap buku ini dapat berkontribusi dalam mendukung pembangunan program Perhutanan Sosial di Indonesia. Bogor, Desember 2019Kepala Pusat,Dr. Ir. Syaiful Anwar, 19630216 199003 1 001 DAFTAR ISIKATA PENGANTAR ............................................................................................. viiDAFTAR ISI ............................................................................................................. ixDAFTAR TABEL .....................................................................................................xiDAFTAR GAMBAR ..............................................................................................xiiiBAB I PENDAHULUANSulistya Ekawati ........................................................................................................ 1BAB II HUTAN KEMASYARAKATAN SKEMA TERTUA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEKITAR HUTAN Sulistya Ekawati, Dhani Yuniati, & Bugi K. Sumirat .......................................... 7BAB III HUTAN DESA MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKAL Edwin Martin ..........................................................................................................33BAB IV IMPLEMENTASI KEMITRAAN KEHUTANAN DAN PERMASALAHANNYA DI TINGKAT TAPAKCatur Budi Wiati, S. Yuni Indriyanti, & Eddy Mangopo Angi.........................55BAB V HUTAN ADAT PASCA-PENETAPAN REALITA DAN CATATAN KRITIS Surati, Handoyo, & Sylviani .................................................................................77BAB VI HUTAN TANAMAN RAKYAT PELUANG DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN Deden Djaenudin ....................................................................................................95BAB VII PENUTUP Sulistya Ekawati ....................................................................................................115BIOGRAFI PENULIS .......................................................................................... 117 DAFTAR TABELTabel 1 Beberapa model HKm yang berhasil ...................................................20Tabel 2 Perkembangan Hutan Desa dalam periode awal 2009–2014 ......... 42Tabel 3 Perkembangan program Kemitraan Kehutanan di Provinsi Kaltim dan Kaltara tahun 2019.........................................62 DAFTAR GAMBARGambar 1 Membaiknya tutupan hutan melalui program HKm akan memperbaiki sumber air foto Sulistya Ekawati .......................... 2Gambar 2 Capaian program Perhutanan Sosial per 31 Desember 2019. .................................................................... 12Gambar 3 Perkembangan luas HKm dari tahun ke tahun. ........................... 13Gambar 4 Sebaran HKm pada pulau-pulau besar di Indonesia. .................. 14Gambar 5 Progres HKm berdasarkan status dokumen unit per 31 Desember 2019. .................................................................... 15Gambar 6 Progres HKm berdasarkan status dokumen ha. ........................ 15Gambar 7 HKm Beringin Jaya di Kabupaten Tanggamus,salah satu kelompok HKm terbaik tahun 2016 foto Sulistya Ekawati. ................................................................... 18Gambar 8 Capaian akses kelola Perhutanan Sosial per 21 Oktober 2019. ........................................................................44Gambar 9 Capaian Hutan Desa HPHD dalam periode 2015-2019. ......... 45Gambar 10 Alur tata cara pelaksanaan skema Kemitraan Kehutanan. ......... 58Gambar 11 Capaian program Perhutanan Sosial selama lima tahun terakhir. .............................................................60Gambar 12 Capaian program Kemitraan Kehutanan selama empat tahun terakhir. .........................................................61Gambar 13 Capaian program Kemitraan Kehutanan tahun 2018 berdasarkan wilayah. .......................................................................62 Bersama Membangun Perhutanan SosialxivGambar 14 Pembibitan dan penanaman sengon di program KK PT Ratah Timber dengan KTH Hunge Palau Kampung Mamahak Teboq, Kecamatan Long Hubung, Kabupaten Mahakam Ulu, Kaltim foto PT Ratah Timber. ........................66Gambar 15 Program Kemitraan Kehutanan KPH Tarakan dengan Gapok- tanhut Lestari Gunung Selatan dan Gapoktanhut Gunung Slipi, Kota Tarakan, Provinsi Kalimantan Utara, berupa budidaya madu kelulut dan tanaman kayu putih foto KPH Tarakan. ...70Gambar 16 Luas capaian HA per provinsi Direktorat PKTHA, 2019b. ..... 79Gambar 17 Alur penetapan hutan adat. ............................................................. 80Gambar 18 Leuweung garapan pada MHA Kasepuhan Karang, Lebak, Banten foto Surati. ........................................................................83Gambar 19 Kerangka pikir pengembangan hutan tanaman rakyat. .............. 99Gambar 20 Kinerja perhutanan sosial per 31 Desember 2019. .................... 100Gambar 21 HTR yang dikelola oleh masyarakat di Prov. Lampung kiri; petani HTR di Prov. Gorontalo mengukur batang pohon untuk mengetahui volume pohon yang dimiliki kanan foto Bugi K. Sumirat. .................................................................101 ResearchGate has not been able to resolve any citations for this modal sosial dan aksi kolektif mulai mendapat perhatian dalam pengelolaan sumberdaya alam bersama common pool resources, seperti hutan lindung. Wujud modal sosial dalam kajian ini adalah kepemimpinan sosial, adat/nilai budaya/kearifan lokal, kepercayaan dan kelembagaan sosial. Kajian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara modal sosial, manfaat ekonomi dan manfaat ekologis dengan kelestarian hutan. Penelitian dilakukan di tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi dan Kabupaten Solok Selatan Provinsi Sumatera Barat. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara, diskusi kelompok dan observasi lapangan. Analisis data dilakukan dengan program SPPS Statistic 17,0 untuk membuat estimasi kurva curve estimation pada menu analisis regresi. Hasil kajian menunjukkan modal sosial dilihat dari actor perspective maupun public perspective berkorelasi positif terhadap kelestarian hutan; manfaat ekonomi yang dirasakan masyarakat sekitar hutan berkorelasi negatif dengan kelestarian hutan, dan manfaat ekologi berkorelasi positif terhadap kelestarian hutan. Nancy Lee PelusoThis paper looks at ways of seeing property rights and making claims to land, land-based resources, and territories over time in a district of West Kalimantan, Indonesia. It starts from the premise that changing political economic circumstances and cultural politics create historical conditions that make it easier for political actors to "see" and act on particular sorts of claims. At present, the predominant way of seeing is one based on territoriality. Government and international land use planning are dominated by territorialization strategies. Territorialization, however, is not only an imposed process emanating from centers of power. Using case studies of counter-mapping NGOs and of the territory-producing practices of Salako in a West Kalimantan village, I explore the ways that local territorializations have contributed to changing constructions of ethnic identity, physical landscapes, and tree and land tenures. Lilik Budi PrasetyoMinoru KumazakiLand-use changes in the period between 1969 and 1988 of 38, 480 sq km areas in South Sumatra were examined. Those two periods of land-use map were digitized and input as Geographical Information System GIS data base using Arcllnfo software packages. Quantitative analysis of land-use changes was carried out by overlay technique. Other related factors such as timber concession, and land tenure system changes, were also examined. It has been believed that the deforestation in South Sumatra was caused by timber concession exploitation that have mostly been started in 1968. Our observation, however, shows that most deforestation had occurred before 1968. In 1969, forest area only covered about 35%, while regrowth and cultivated land accounted for 37% and 26% of the total area, respectively. Therefore, the loss of forest might be related to other factors such as cash crop introduction in the early nineteenth century and road construction for oil exploration in the beginning of twentieth century. There was clear evidence that in South Sumatra, timber concessions’ exploitation that was started in 1968, had less impact on forest cover than other land uses. This was demonstrated by the fact that during 1969-1988, in concession area about 74% of forest areas still remained unchanged, in comparison with only 42% in non concession. Moreover, there was much more forest regeneration from regrowth and cultivated land. In total, during 19 years period, forest cover area decreased by less than 10%. This was partially explained by forest regeneration, and the changes of land tenure system marga system that made farmers difficult to access forest Nursidah Bramasto NugrohoDudung DarusmanYuzirwan RasyidThe study was aimed to build institution model of sustainable forest management, through analysis of action arena, community attributes and forest management rules in Arau Watershed Unit Management Area. To achieve sustainable forest management, recognition and incorporation of local institutions in forest policy formulation is very important because it had great potential for collective action and had characteristics of common pools resources sustainable management needed. To achieve a successful local collective action, the institution must be had the rules in use suitable with local community norms; the organization has power to give reward and punishment as well as recognized and respected by society; specific management according location; rules of the game was made participatory; there are economic incentives for owners and users; there is an instrument for controlling sustainable use; and conflict resolution through negotiations to reach an concencus agreement. The finding of institutional models analysis show that co-management model between government and local communities, called Nagari Forest Management Model is more suitable, because it gives greater opportunities for indigenous rights recognition to communal forest, until the capacity of villages get better, then the choice of forest management can be shifted into Nagari Community Based Forest Management Model. Keywords sustainable forest management, institution, collective action, nagariEvaluations on community forestry outcomes are important to observe whether the program community forestry produces what it has promised. For the evaluation -as an alternative to the comprehensive criteria and indicators on sustainable community forestry-, we propose an approach based on the core policy objectives of the program. In fact, community forestry is very much connected to the following three objectives of 1 alleviating the poverty of forest users, 2 empowering them, and 3 improving the condition of the forests. Based on field tests in two community forests in Indonesia, the focus on the core policy objectives appears to provide a more practical approach than the use of complex criteria and indicators. We conclude that our approach allows rapid evaluations and eventually reduces the associated costs and time without compromising the goals of the authors Vandergeest and Peluso have discussed the process of territorialization in Siam/Thailand, where the state has gradually expanded its control over natural resources through its legal machinery and associated classifications of the natural environment. While Vandergeest and Peluso focus on the process of territorialization from the perspective of the Thai State, this article examines the same process from the perspective of nongovernmental organizations and forest-dwelling farmers. Of particular interest is a project launched by the Northern Farmer's Network to "ordain" 50 million trees in community forests throughout Northern Thailand in 1996 to celebrate the fiftieth anniversary of the king's accession to the throne. This essentially Buddhist ceremony has since been conducted in numerous Buddhist as well as non-Buddhist rural communities. The authors argue that these communities apply the tree ordination ceremony as a tool to counter the territorialization of the Thai state by reasserting local identities and environmental responsibilities. By invoking Buddhist symbols and the honor of the king, the rural groups—many of which fear eviction from forested areas classified as national parks—identify themselves positively with modern Thai society in order to contest their public depiction as "enemies of the nation." This article analyzes the process of territorialization and counter-territorialization in Thai society by discussing classifications and associated landscapes in the environmental debate in Thailand. Furthermore, the tree ordination project undertaken by the Northern Farmers' Network is analyzed based on cases from the Mae Chaem district in Chiang Mai Province. Guillaume LestrelinDemocratic participation and the political weight of ethnic minorities have generally increased across Southeast Asia. Indigenous movements, alliances with nongovernmental organizations and legal challenges have become important instruments for laying claims on customary resources and influencing or countering state territorialization. While such strategies are generally not feasible in one-party states such as the Lao People’s Democratic Republic, minorities may also engage in more subtle and covert forms of counter-territorialization. This paper provides a detailed account of local responses to internal resettlement and land reform in two minority villages of northern Laos. Drawing upon Michel Foucault’s description of governmentality, it discusses the functioning of state–ethnic minority relations and argues for a critical yet nuanced perspective on the agency of ethnic minorities vis-à-vis state territorialization. John F. MccarthyIn Indonesia, with the recent eruption of local struggles over resources and now with the new decentralization reforms, there is renewed interest in the role of customary adat institutional arrangements in village government, land tenure, and forest management. On the basis of research carried out in one locality in Sumatra over 1996–99, this article considers the nature of local institutional arrangements, how they have evolved under various conditions, their complex interaction with the parallel State order, their response to economic fluctuations, and how particular institutional patterns lead to certain environmental outcomes. This article finds that as farmers adjust to the economic and political dynamics and the changing scarcity and value of different resources in this site, the adat arrangements are constantly renegotiated. Adat customary orders are tied to local notions of identity and associated notions of appropriateness, and as such constitute patterns of social ordering associated with both implicit deeply held social norms and more explicit rules. Considering the institutional pluralism characteristic of this area, this article concludes that, while the State and adat regimes often compete to control the direction of social change, they also constantly make accommodations, and in some respects need to be considered as mutually adjusting, intertwined orders. Untukmeningkatkan kinerja pengelolaan dan mendorong pengelolaan lestari maka ada kebutuhan menyusun Rencana Kelola Hutan Rakyat KTH JASEMA DESA TERONG 2015. RKTHR ini disusun dengan metode partisipatif berdasar pengalaman, kebutuhan dan harapan masyarakat Desa Terong. Rencana Kelola ini akan digunakan sebagai pemandu KTH Jasema dalam